Dia: Hei, boleh aku bertanya? Tampaknya kau mencintai bahasa begitu rupa, apakah bahasa kalbu sudah kau lahap juga?
Aku: Bahasa kalbu belum juga kukuasai benar, lagipula kalbu siapa yang harus kuterjemahkan?
Dia: Haruskah perlu kukatakan, bahwa bahasa kalbuku terlalu kusut untuk diterjemahkan sembarang orang? dan perlu satu penterjemah khusus untuk mengurainya?
Aku: Baiklah, untuk pangeran malam yang tengah kesepian, aku persiapkan diri jadi penterjemahmu urusan kalbu. Oya, kau tahu, hujan datang! Seperti biasa, lalu lintas di Jakarta lumpuh total.. kalau sudah begini, masihkah kau menginginkan untuk tinggal di Jakarta?
Dia: Entahlah, sejujurnya aku tidak pernah bisa berlama di Jakarta. Pun untuk tinggal di sana.
Aku: Meskipun kamu bisa bertemu dengan aku setiap minggunya?
Dia:Hmm..itu adalah yang paling kutunggu. Bingung, jika pertimbangan itu yang harus kubayar. Tapi bukankah berkelana tidak mengapa sebelum usiaku genap 30?
Aku: Ah, benar katamu! Mungkin aku akan merencanakan untuk berkelana, bepergian dan mencipta bahagia. Seperti katamu, sebelum genap usia menjadi kepala tiga.
Dia: Hei! Jika saat itu aku memutuskan untuk menetap di Jakarta, dan kau malah memilih untuk berkelana? Tega! Aku akan membencimu seumur hidupku!
Aku: Ahaha, sebegitu pentingnya kah hadirku untuk mu? Apakah kau mampu untuk sekedar melayangkan sehelai benci untuk aku, jika setiap hirupan nafas yang kau ingat hanya namaku?
Dia: Hufff,,,memang harus kuakui, kata-katamu benar adanya. Aku terlalu bergantung padamu. Seperti mati jika tidak mendengar ceritamu sehari saja. Kamu itu udara bagi peparuku!
Aku: Aku punya sepenggal sajak untukmu, semoga kau sudi membacanya:
Hei, aku hujan.. Tunggu! Jangan kau lari, aku takkan menyakitimu, menengadahlah agar aku bisa memelukmu dan memberi sejuk yang kau tunggu.
Dia: Haha,masih kau mencintai hujan? Ia telah berkhianat padamu! Dan sayang hujan tidak lagi sejuk, hujan mengandung asam sekarang. Hanya bikin iritasi saja
Aku: Ah, sinis betul kau dengan hujan?! Segitu tidak diindahkannya kah hujan saat ini? Begitu hinakah ia sekarang sampai-sampai harus mendapat umpatan dan keluhan?
Dia: Hujan hanya korban, dan kita, manusia yang membuat ia hina
Aku: Aku tetap ingin hujan. Hujan buatku tenang. Hujan buatku memiliki angan, meski hujan juga yang membuatku memutar kenangan..
Dia: Well, if it’s makes you happy, it can’t be that bad
Aku: Kamu menyerah?
Dia: Menyerah demi dia, yang tak pernah bisa pudar cintanya pada rintik air langit
Aku: Dan kau merasa tersaingi oleh prajurit langit yang kau bilang hanya sekumpulan rintik?
Dia: Mengapa aku harus merasa tersaingi dengan prajurit langitmu?
Aku: Entahlah, aku merasa kamu cemburu pada prajurit langit.
Dia: Karena prajurit langit lebih menarik perhatianmu?
Aku: Aku tidak pernah bilang begitu, kamu yang memiliki penilaian itu
Dia: Hmm.. baiklah.. Menarik jika kamu mampu merasakan itu.
Aku: Hei, aku pamit ya.. peri mimpi sudah menegurku. Ia tidak bisa menjalankan tugasnya jika aku belum juga beranjak ke negerinya.
Dia: Baiklah, jaga dirimu di dunia mimpi sana ya.. Pastikan petamu mengarah pada tujuan yang sama. Dimana aku sudah menantimu, kita lanjutkan obrolan ini di dunia mimpi saja. Oya, aku juga sudah meminta purnama untuk turut serta mengawalmu menuju negeri mimpi
Aku: Ah, terima kasih! Aku undur diri sekarang ya.. Kereta kencanaku sudah datang.. jangan lupa sediakan untukku sebuah penyambutan..
Dia: Hanya penyambutan? Aku akan menyiapkan sejuta keinginan yang selalu engkau harapkan untuk dikabulkan. Selamat malam, Luna. 🙂
PS: obrolan ini tercipta atas imaji sebelum merajut mimpi 😉
02Oktober2012