Terjebak MLM

“Lo nggak tahu rasanya dijebak sih! Sebel banget gue. Kalau bukan temen main gue dari kecil udah gue damprat tuh orang”

Aku hanya manggut-manggut saat temanku menceritakan kisahnya baru saja. Ia merasa dijebak oleh kawannya yang alih-alih ingin bertemu karena rindu, tidak tahunya ia justru ditawari untuk ikut salah satu multi-level marketing alis MLM yang cukup terkenal di Jakarta.

Aku tersenyum melihat ia yang masih bersungut-sungut menceritakan kisahnya. Seperti tak terima dengan apa yang baru saja menimpanya, aku maklum. Aku pernah berada di posisinya. Hanya saja saat itu aku tidak merasa dijebak. Aku datang karena aku memang ingin tahu, ingin menjadi salah satunya, dan ingin sukses bersama. Haha.. pemikiran seorang anak sekolah yang ingin memiliki uang saku sendiri.

Mungkin sebagian besar orang saat itu (termasuk aku), merasa sangat keren menjadi salah satu dari ‘orang-orang penting’ berdasi lengkap dengan jas dan rambut yang tertata klimis. Hampir setiap minggu aku mengikuti pertemuannya. Sederhana saja alasanku, aku senang berada di antara orang-orang yang punya semangat dan pikiran yang positif. Aku membuat penyeimbang dalam hidup. Tak mau melulu jadi pemberontak di dunia kampus, tapi juga ingin sukses berpenghasilan. Itu sih pikiran sederhana kala itu.

Temanku masih terus saja menceritakan apa saja kejadian yang dialami selama tiga jam terjebak di dalamnya. Ia menceritakan kalau ia disuruh menulis beberapa mimpi yang paling ia inginkan dalam selembar kertas, di pertemuan pertamanya.

Aku jadi ingat, apa alasanku pada akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkannya. Ada banyak hal yang tidak sejalan dengan hatiku. Tiap kali bertemu, mereka selalu menonjolkan kemewahan, kesuksesan, hingga membuat banyak orang bermimpi. Bagus memang, tapi ada hal-hal yang tidak mereka tunjukkan secara sosial.  Itu menurut kacamataku.

Suatu hari, aku pernah disuruhnya menuliskan mimpi di selembar kertas. Dengan senang hati aku menuliskannya. Terlalu banyak memang tapi aku tahu apa yang teratas saat itu. Saat itu kami dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil dengan satu leader yang mencoba membimbing kami menulis mimpi. Hmm..aneh, kenapa mimipi pribadi harus dibimbing juga? Baiklah aku turuti sampai situ.

Saatnya membacakan mimpi di depan anggota kelompok. Sayangnya, mimpi yang kupunya dicibir olehnya, pemimpin kelompok kecil itu. Menurutnya mimpi ku terlalu sederhana, kurang spektakuler. Saat itu juga aku merasa direndahkan. O ya, buatku mimpi itu seperti harga diri. Aku bukan dari keluarga berada yang punya materi. Tapi aku punya mimpi yang bikin aku tetap hidup sampai hari ini. Tentu dengan ijin Tuhanku.

Jadi kalau ada yang menginjak-injak mimpi, aku tak terima. Apapun mimpi yang orang punya harus dihargai apapun bentuknya. Setiap orang pun punya prioritas, jadi jangan samakan. Sejak saat itu, aku memutuskan keluar dan tidak akan pernah datang lagi. Haha.. Aku yang emosional. Memilih untuk pergi saja dan mengabaikan segala bentuk undangan yang dilayangkan. Bahkan mereka tak segan-segan untuk datang ke rumahku. Tapi aku tak bergeming.

Sekarang, aku hanya tersenyum mengingat kejadian itu. Mereka, teman-temanku yang pernah mengajakku bergabung di sana masih menjadi orang yang sama. Tidak berbeda dengan sebelumnya bertahun tahun silam. Dan aku, bahagia dengan apa yang aku kerjakan sekarang. Buatku, puzzle mimpiku sedang tersusun pelan-pelan, karena Tuhan bekerja dengan caranya bukan cara yang kita punya. Dan ukuran sukses seseorang nggak melulu ditakar melalui rupiah yang dihasilkan. Itu saja.

Depok, 3 Maret 2013