Mendung seharian membuat saya enggan beranjak keluar. Untung saja, Mas Yuri, asisten kesayangan kami menawarkan ingin manu apa untuk makan siang. Terlintas di benak saya untuk makan sesuatu yang berbau junkfood. Tapi, untunglah akal sehat lebih dulu merevisi pesanan saya.
Karedok lengkap dengan lontong jadi pesanan saya sebagai menu makan siang. Agak lama saya menantikan makan siang ini tersaji di meja pinggir kolam. Sambil menunggu, saya asyik surfing di dunia maya, iseng-iseng bongkar pasang tulisan cindil-cindil yang bikin saya sakit perut, dan sesekali mengganti playlist lagu yang sekiranya bisa menjaga mood saya tetap pada jalur semestinya.
“Mbak, karedoknya di meja ya.”
Suara khas Mas Yuri menghentikan kegiatan saya. Dengan langkah mantap bin pasti saya menghampiri menu makan siang yang sudah terlambat hampir sejam. Ya, saya maklum. Mas Yuri tengah banyak pesanan rupanya.
Sebuah styrofoam berisi karedok ditaruh di atas piring melamin biru, dan sebungkus kerupuk sepertinya sudah tak sabar untuk saya eksekusi siang ini.
Aroma kencur yang menguar saat saya buka penutupnya membuat liur menitik seketika. Bumbunya tak kental tapi juga tidak encer. Puket. Pas sekali untuk porsi karedok yang terbilang sedikit ini. Irisan halus kol, potongan kacang panjang yang berseling dengan taburan tauge dan disisipi lembaran daun kemangi yang menambah harum karedok ini mengingatkan saya akan satu hal. Masa kecil.
Suapan pertama mampir di lidah, ‘menampar’ saya dengan rasa pedas yang menggigit! Ah, saya lupa untuk pesan karedok tanpa cabai (Bah! Apa rasanya karedok kalau tanpa cabai?). Tapi saya buat pemakluman siang ini. Siang ini saja saya berdamai dengan cabai, semoga cacing-cacing di dalam perut ini bisa bertahan sebentar saja. *elus-elus perut*
Potongan sayuran segar terasa kres..kress.. renyah di lidah. Suapan demi suapan perlahan memenuhi mulut saya yang bergoyang tiada henti. Mendung yang kian turun manaungi acara makan siang membuat saya makin bernostalgia dengan suksesnya.
“Bu Oon,” gumam saya di tengah menyantap makan siang.
***
Wanita bertubuh besar, berkebaya kembang-kembang berwarna krem kecokelatan dengan kain jarik serta angkin, yang terlihat membebat perutnya yang besar karena melahirkan banyak anak. Rambutnya putih disanggul sederhana. Kaca mata pantat botol menaungi wajahnya yang bulat dengan tahi lalat besar di ujung bibir kanannya.
“Karedok ape gado-gado, Neng?”
Itu kalimat yang selalu menyambut saya ketika sampai di warung sederhana miliknya di pertigaan Jalan jengkol, sekitar 200 meter dari rumah saya. Bu Oon si penjual gado-gado dan karedok yang tersohor di seluruh kampung areman.
“Cara dia ngulek bumbu itu khas. Ndak ada yang nyaingi,” ujar ibu saya ketika saya tanya kenapa harus beli gado-gado Bu Oon alih-alih ada tukang gado-gado yang lebih dekat dengan rumah.
Suatu hari saya pernah mangkir dari titah Ibu. Saya belikan gado-gado yang berbeda. Tapi Ibu saya hapal betul dengan bumbu racikan Bu Oon, yang membawa saya pada omelan-omelan berikutnya. Rasa penasaran dan sebal karena dapat omelan membuat saya mencoba meresapi apakah perbedaan dari bumbu racikan kedua tukang gado-gado itu.
Satu sendok bumbu serta sayuran saya suapkan ke dalam mulut. Hap!
Deg!
Langsung terasa perbedaan rasa yang jauh sekali tercecap lidah saya! Tampilannya memang sama, tapi soal rasa bagaikan langit dan bumi. Bumbu gado-gado yang saya coba terasa hambar. Kencurnya tidak terasa apalagi aroma jeruk limau yang biasanya harum menguar di bumbu gado-gado Bu Oon. Tak heran, Ibu saya yang memang penggemar fanatik Bu Oon protes keras!
Pasalnya, lidah Ibu saya sudah terlatih menikmati bumbu racikan Bu Oon. Pun demikian dengan saya.
Tahun-tahun berlalu. Bu Oon semakin tua. Usianya makin sepuh dan sudah tak bisa mengulek bumbu seperti biasa. Tangan tuanya sudah tak kuat menggerus bumbu kacang di atas cobek cepernya. Kaki rentanya tak bisa berdiri terlalu lama karena rematik yang semakin merajalela.
Belum lagi pikun yang kerap kali justru menyusahkan ia dan juga pengunjung warungnya. Lupa ia apa pesanan yang baru saja dituliskan oleh pembeli. Atau kadang lupa ia memasukkan salah satu bumbu di dalamnya. Membuat rasa jadi fatal gagalnya.
Mbak Um, putri bu Oon entah yang nomor berapa menggantikan perannya. Sayang beribu sayang, bumbu racikan Mbak Um berbeda dengan Ibunya. Meskipun takaran yang dimasukkan sudah sama persis. Mungkin ini yang dikatakan banyak orang, ketika menyediakan masakan penuh cinta hasilnya akan berbeda.
Bu Oon selalu melayani pembelinya dengan senyum dan sapa ramah yang mengajak pembeli merasa seperti keluarga. Berbeda dengan putrinya yang tak pernah menghadirkan senyum saat bertanya “Karedok atau gado-gado?”.
Ya, keramahan Bu Oon sepertinya tidak menurun pada putrinya itu. Hingga satu persatu pelanggan meninggalkannya, dan Bu Oon meninggal di usia yang cukup senja. Warung miliknya terbengkalai tak terurus dan hilang karena proyek pelebaran jalan.
Ah, nostalgia.
Mendung masih saja merayu saya dengan semilir angin dinginnya. Menyapukan kenangan indah disuapan terakhir karedok yang kurasa mirip dengan racikan karedok milik Bu Oon di masa jayanya dulu kala.
Kemang, 27 Mei 2013 ; 13.20