Menanti Lamaran

(Cerita sebelumnya di sini)

Kejadian di stasiun Gambir dua bulan lalu tentu masih sangat melekat di benak Amara. Tak terbayang olehnya kalau hari ini ia akan dilamar oleh orang yang tak pernah disangka-sangka sebelumnya. Hari ini adalah langkah awal dimana ia akan segera menjadi Nyonya Dipo, Mama dari Langit, si bocah centil dengan pipi gembilnya yang tak pernah mau diam.

Amara tersenyum geli saat merunut apa saja yang telah menimpa dirinya beberapa bulan terakhir. Memang, cinta datang dan menyambangi siapa saja tanpa pernah bilang sebelumnya. Tapi Amara tak pernah berpikir kalau itu terjadi begitu cepat dalam hidupnya. Setidaknya ia butuh persiapan. Untung saja jantungnya cukup kuat menerima semua kejutan yang Tuhan berikan padanya bertubi-tubi.

Bip..bip..

“Hai sweetheart, sibuk mempercantik diri untuk acara sore nanti ya?”

Bip..bip

“Hmm..untuk kamu juga, kan? Kamu tiba pukul berapa, Mas?”

Bip..bip..

“Ah, senangnya! Aku akan sampai kira-kira pukul 4. Langit sudah tak sabar bertemu dengan calon mamanya nih. Dia ribut seharian, bingung mau pakai baju apa. Susah ya jadi Ayah untuk anak perempuan.”

Amara tertawa geli membaca pesan yang Mas Dipo kirimkan untuknya. Siapa sangka, penat mengurus gadis kecil akan ia rasakan sebentar lagi. Tanpa perlu menunggu sembilan bulan menunggu hingga janin dalam rahimnya berkembang sempurna. Ia akan merasakan jadi ibu sebentar lagi. Ibu dari Langit Rasya Darmawan.

Tetiba ada rasa takut membayangi hatinya. Apakah ia bisa menjadi ibu yang baik untuk Langit? Dan apakah ia bisa menjalani kehidupan menjadi seorang istri dan ibu sekaligus dengan perkenalan yang terbilang singkat? Ada ragu yang nyata-nyata menggayut manja dalam benak Amara.

Bip..bip..

“Aku kirimkan kejutan untukmu. Mungkin 10 menit lagi kejutan itu tiba di rumahmu. Siap-siap ya!”

Pesan yang masuk mengalihkan Amara dari rasa ragu yang membayangi dirinya. Ia penasaran apa yang Mas Dipo kirimkan untuknya. Amara tak mau merisaukan ketakutan yang menghantuinya baru saja. Ia tahu bahwa Mas Dipo adalah seseorang yang dikirimkan Tuhan untuk mendampinginya, karena memang ia butuhkan. Itu sudah.

“Nduk, di luar ada yang cari kamu. Umm..dia itu..”

Inggih, Bu. Itu dari pihak keluarga Mas Dipo, katanya mau kasih kejutan,” jawab Amara tergesa dan langsung menghambur keluar dari kamarnya.

“Mas dari pihak keluarga Mas Dipo ya?” sapa Amara ramah pada lelaki yang sedang berdiri memunggunginya di teras depan.

“Siang Amara, apa kabar?”

Pria yang berdiri di hadapan Amara menyapanya hangat tapi justru membuat Amara seperti dihujani panah es beribu-ribu jumlahnya. Dingin dan kelu. Randu Aditya, pria yang datang dari masa lalu. Kini berdiri tegap di hadapan Amara dengan seseorang yang sangat dikenalnya. Ny. Wira Sasmitha, ibundanya.

Jakarta, 21 Januari 2013
#13HariNgeblogFF Hari ke-9

Pernikahan Impian

Lampu utama padam. Lampu sorot yang menyilaukan mengarah ke satu sudut ruangan. Iring-iringan telah bersiap di belakang, lengkap dengan tabuhan kendang dan alunan musik lainnya. Aku takjub berdiri di sudutnya saja, menggandeng si bocah yang tak bisa diam ingin berlarian ke tengah kerumunan.

Seorang wanita berkebaya merah tua membacakan susunan acara dalam bahasa yang tak kukenali artinya. Hanya saja terdengar syahdu di telinga dan makin hangat ketika kulihat satu-satu wajah penuh harap dan juga haru. Mungkin saja doa yang baru saja dibaca.

Pelan-pelan lampu mulai menyala, tapi ritual upacara belum usai semuanya. Masih ada lain-lainnya yang membuat si kecil di tanganku makin tak bisa diam dibuatnya. Celotehannya makin kencang dan membuat suasana yang seharusnya khidmat jadi sedikit bising olehnya. Toh tak menurunkan tingkat kesakralan upacara seluruhnya.

Lima belas menit sudah, semua berjalan seharusnya. Kini si kecil ‘kulepaskan’ untuk segera berlari ke pangkuan bundanya yang sudah selesai menjalankan tugasnya. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Sampai akhirnya, sebuah suara mampir dan menyapa di tengah riuhnya acara yang sudah berjalan setengahnya.

“Apa pernikahan impianmu?” itu katanya.

Aku hanya menoleh sekilas sebelum benar-benar kujawab pertanyaannya. Pria berkemeja hitam berdasi marun datang mengulas senyum paling rupawan.

Tak ada kata terucap, hanya diam yang makin lama menggantung di udara. Mataku menerawang jauh ke arah pengantin yang tengah bertugas menebar senyum entah pada tamu yang memang dikenalnya atau sekadar basa basi di hadapan kerabat orang tua.

“Tak ada,” pada akhirnya aku memecahkan tanya.

“Pernikahan impian itu hanya ada di dunia para puteri di negeri dongeng sana. Di sini, terlalu banyak benturan realita yang harus dihadapi. Impian ya sekadar mimpi saja,” itu jawabku.

Seperti tak puas dengan jawabanku ia melanjutkan bertanya ‘kenapa?’ yang tetap dijawab diam olehku awalnya.

“Pernikahanku hanya butuh restu. Tak perlulah megah acara kupersiapkan hanya untuk memuaskan keinginan orang saja. Dan yang pasti ketika saat itu datang, aku sudah tak perlu merisaukan adat apa yang harus kepersiapkan bahkan gereja atau masjid mana yang kupilih untuk meresmikan ikatan pernikahan dimata Tuhanku nanti.”

Ia hanya tersenyum menatapku. Menelusupkan jejari diantara jemariku, dan mengecup keningku alih-alih berbisik, “Akan ada waktu untuk kita bahagia dimana restu sudah diterima dan semesta mengamininya.”

Jakarta, 7 Januari 2013; 16.30

Menjahit

Ada sebuah tulisan yang terbaca olehku siang ini, yang  ditujukan untuk seorang kawan di luar sana. Saat membacanya entah apa yang berkecamuk di kepalaku. Tapi satu hal yang pasti, aku jadi merenung karenanya. Mencoba untuk mencermati kata-kata yang terangkai indah di sana.

Ini dia:

Keterampilan pertama wanita adalah harus bisa ”menjahit”. Karena bagaimanapun keadaannya sudah menjadi kodrat wanita harus menjahit hatinya sendiri.

Sedangkan pria tentu tidak harus bisa menjahit, karena sudah menjadi kodratnya akan dijahitkan oleh wanitanya, atau dibiarkan saja lukanya karena bangga dengan parutnya

Dan hari ini, aku tengah menyiapkan benang dan jarum terbaik yang kupunya untuk bisa menjahit setiap luka yang tertoreh pada lelakiku nantinya. Mencoba menghilangkan parutnya serupa bedah plastik tercanggih yang pernah ada di dunia ini.

Hai lelakiku di luar sana, jika memang kita sudah dipersatukan nanti pastikan hanya jarum dan benang yang terangkai dari jemariku lah yang akan menutup lukamu. Luka dari setiap duka yang pernah ada agar engkau tetap bisa menjadi manusia seutuhnya dan menjagaku sebagaimana Tuhan mengutuskan mandatnya padamu. 🙂

Jakarta, 1 November 2012
Nona Senja teruntuk Tuan (?)

When they said: “I Do!”

Rasa haru kadang datang bukan karena duka, bukan juga bahagia, namun merayap karena memori yang terbuka. Haru yang menelusup kadang menyesakkan, namun kadang juga menyenangkan. Membuncah membuyarkan lamunan dan membentuk serangkaian pemikiran.

Seperti sore ini, rasa haru ini begitu kurang ajar! Ia datang tetiba, membuat mata ini buram karena tak kuasa membendung bulir air mata yang terasa hangat membelai pipi. Haru  yang campur aduk rasanya, membuat senyum tersungging sempurna disela air mata yang masih saja merembas seenaknya.

In a while, in a word,

Every moment now returns.

For a while, seen or heard,

How each memory softly burns.

Facing you who brings me new tomorrows,

I thank God for yesterdays,

How they led me to this very hour,

How they led me to this place...”

Sepenggal lagu ‘Two Words’ milik Lea Salonga mengalun, menguntai nada indah, menemani saya menikmati indahnya langit sore yang cerah. Membawa kenangan manis setahun lalu mampir kembali sore ini.

Di sebuah Gereja di pinggiran kota, seorang pria tampan berjas hitam berdiri dengan gagahnya berjalan menuju altar. Sikap tenangnya tidak juga menutupi rasa gugup yang menggayut halus di wajahnya. Hari ini adalah hari yang paling dinantinya setelah 8 tahun perjalanan yang berlalu tidak tanpa suka dan duka.

Perjalanan panjang untuk dapat meminang gadis manis berbalut gaun putih panjang yang kini tengah menggamit lengan kanan si pria dengan lembutnya sambil sesekali tersipu malu.
“Ah betapa cantiknya ia. Tak pernah kulihat ia begitu cantik memesona seperti hari ini,” mungkin itu yang ada di dalam pikirannya saat berjalan bersisian dengannya. Ada rona bangga dan rasa lega yang tersirat saat seluruh mata tertuju kepada mereka dan mengantarkan pasangan berbahagia itu dalam jutaan doa menuju altar pemberkatan. Sorot mata bahagia menghilangkan ragu, menyapu gelisah yang sejak pagi iseng menggoda.

Every touch, every smile,

You have given me in care.

Keep in heart, always I’ll,

Now be treasuring everywhere.

And if life should come to just one question,

Do I hold this moment true?

No trace of sadness, A

lways with gladness…

‘I DO…’

Janji manis nan sakral di hadapan Tuhan serta Pastur yang mengikat hubungan mereka membuat semua yang hadir merasakan getaran haru yang begitu syahdu. Sebuah simbol pengikat melingkar di masing-masing jari manis mereka yang dipasang dengan penuh cinta.

"I face each moment, no trace of sadness, always with gladness with you"

“I face each moment, no trace of sadness, always with gladness with you”

Now a song that speaks of now and ever,

Beckons me to someone new,

Unexpected, unexplored, unseen,

Filled with promise coming through.”

Kini, tak ada lagi yang menghalangi jalan cinta yang mereka jalin. Janji sehidup semati di hadapan Tuhan membawa mereka menjadi manusia yang baru. Menjadikan mereka satu dalam doa setiap hati yang hadir kala itu.

You and I forever change,

Love so clear, never blurred,

Has me feeling wondrous, strange,

And if life should come to just one question,

Do I face each moment true?

No trace of sadness, always with gladness, ‘I DO…’

Never with sadness…

Always with gladness… ‘I…DO….’ “


Kemarin, masih ada ‘aku dan kamu’ tapi kini semua berubah menjadi ‘kita’.  Dan ini bukan lah akhir dari cerita cinta yang telah diperjuangkan selama delapan tahun, namun menjadi sebuah awal yang baru menjalani sebuah kehidupan yang dinamakan ‘bahtera rumah tangga’. Semoga perahu yang berlayar ini selalu dijalani dengan penuh suka cita dan cerita bahagia meski badai pasti akan terus menggoda.

Denting piano yang mengiringi Lea Salonga tuntas membawa keharuan yang begitu menggebu di hati saya. Hanya sepenggal doa untuk mereka – pasangan yang berbahagia yang tersenyum saat melangkah keluar dari Gereja – sahabat saya tercinta, Lesti & Iwan. Semoga bahagia tak pernah sungkan mampir di rumah tangga kalian.Kini dan nanti.

With love,

the happiest sister :’)

(thank you for allowing me write the happiest moment of you,dear)

My warmest place, 07082012