Virgo dan Gaya Bepergiannya

Saya menulis ini setelah membaca salah satu tulisan milik kawan blogger, Johanes Jonaz. Ia mengupas gaya travelling orang-orang berdasarkan zoadiaknya. Hmm..menarik! Saya membaca komplit semuanya. Mulai dari Capricorn hingga Sagitarius. Dan tentu saja bintang milik saya sendiri, Virgo.

Untuk sifat dasar seorang Virgo adalah:

Perfeksionis level tinggi. Segala sesuatu harus bagus, harus sempurna. Virgo juga agak konvensional, entah itu dalam pola pikir ataupun penampilan. Agak sulit mengajak Virgo untuk santai sejenak. Dalam pikirannya harus produktif dan produktif setiap saat. 

Untuk hal yang tertera diatas, saya mengamininya sepenuh hati. Saya itu perfeksionis tanpa saya sadari hingga beberapa tahun terakhir ini. Baik dari soal pekerjaan hingga penampilan. Perfeksionis soal penampilan di sini, bukan berarti penampilan saya harus wah, tapi paling tidak rapi menurut pandangan saya. Untuk masalah konvensional, tidak terlalu. Tapi balik lagi, selama itu nyaman untuk saya pakai saya memilih tetap konvensional tapi tidak kampungan.

Dan sangat benar sekali jika saya sangat sulit untuk diajak santai jika menghadapi masalah. Saya bisa sangat uring-uringan jika itinerary yang sudah dibuat harus berantakan hanya karena kelalaian satu orang. Atau ketika saya harus mengubah haluan perjalanan dalam waktu singkat, otak saya tidak akan berhenti berpikir segala jenis rencana untuk dilakukan. Ya, itulah saya. Tapi sudah setahun terakhir saya bisa melunak sedikit. Ada seseorang yang kerap mengingatkan saya untuk sedikit ‘ngerem’ otak saya supaya tidak ngebul katanya, hehe.

Virgo menginginkan traveling yang sempurna ke tempat-tempat yang indah yang sudah populer demi menghindari hal-hal yang tidak mengenakkan selama traveling, misalnya saja kondisi jalan yang susah di tempuh, kondisi cuaca yg memungkinkan penundaan penerbangan atau hal-hal lain yang mungkin timbul dalam traveling ke tempat yang tidak populer.

Seorang Virgo tidak bisa dijadikan leader dalam traveling, tapi akan lebih bermanfaat jika dimintai pendapat sebelum/ selama traveling. 

Menurut ceritanya, seorang Virgo itu senang bepergian ke tempat yang sudah diketahui kenyamannya. Haha, untuk itu siapa pula yang akan menolak? Apalagi jika perjalanan itu dibiayai oleh pihak ketiga, seorang ‘pejalan gembel’ pun dengan senang hati melakukannya. Demikian juga saya. Tapi jika saya harus memilih, saya senang bepergian ke daerah yang masih belum pernah dijamah oleh orang. Kalau ditilik sih sifat bepergian ini lebih mirip dengan Scorpio dan juga Libra.

Leo sangat tidak cocok dengan saya. Saya tidak suka dengan keramaian dan saya bukan seorang sosialita. Kalau banyak kawan saya ke Bali menyempatkan diri dugem di salah satu club malamnya, saya memilih menyendiri di Ubud untuk belajar tari atau mungkin belajar mbatik di salah satu di desa di Imogiri.

Karakter bepergian Gemini juga lumayan cocok dengan saya. Saya senang berdialog dengan orang asing, penduduk lokal setempat contohnya. Saya tidak pernah takut saat nyasar di suatu daerah, karena saya biasanya akan mendapatkan teman baru di sana.

Saya menyukai sejarah belakang ini. Nggak heran kalau teman saya menjuluki saya ‘kuman candi’ karena saya pernah ‘hilang’ beberapa kali saat liburan dengan alasan mengunjungi candi atau berdiam diri di museum. Kalau sudah berada di dalam museum tua, saya seperti mendapatkan pasokan tenaga tiba-tiba hehehe.

Terakhir, saya melihat diri saya mirip dengan Aquarius. Untuk yang satu ini, mungkin tak perlu saya ceritakan langsung di baca saja di blog milik Jonaz. Tulisan di atas sudah cukup narsis mendeskripsikan kepribadian saya. Untuk yang ingin mengetahui tentang gaya traveling berdasarkan zodiak, mungkin kamu bisa mengunjungi blog milik Jonaz di sini!

Dan lagi-lagi saya berpikir, sebuah perjalanan itu tidak dinilai sejauh mana kaki saya melangkah. Tapi seberapa banyak ilmu yang saya dapat selama berperjalanan. Seberapa banyak saya bersyukur pada Tuhan dengan semua nikmat yang terhampar di depan mata apapun bentuknya. Dan seberapa sering saya berbagi dengan sesama di daerah yang jadi persinggahan kaki dan juga hati saya. Itu sudah.

Tak Akan Lama. Janji!

Memulai hari dengan sebuah air mata rasanya itu akan mengacaukan mood satu harian. Entah untuk orang lain, tapi buat saya Senin pagi ditambah air mata menghasilkan jenuh sejadinya, mellow se-mellow-mellownya, dan semua yang kelabu ‘mampir’ seenaknya.

Saya nggak pernah tahu ada apa dengan saya hari ini. Pagi tadi saya mendapat telepon dari seseorang yang belakangan memang mengisi hidup saya. Nothing special. But I know my morning will be fine after his call. Berangkat kerja lebih pagi dari biasanya mencoba menghindari macet di Senin yang luar biasa.

Tiba di tempat kopaja tua biasa menyandarkan tubuh ringkihnya. Tidak ada satupun kopaja mangkal di sana. Saya memilih untuk naik kowanbisata, dengan resiko ongkos saya lebih mahal dari yang seharusnya (selain ojek yang saya harus hitung lebih jauh jaraknya).

Bis kowanbisata sudah terlalu penuh. Untunglah saya masih bisa berdiri dengan baik di ambang pintu. Sampai sini, saya masih baik-baik saja. Ada seorang pria berbadan sedikit tambun langsung menjejakkan kakinya di ambang pintu, mendesak saya hingga terhimpit diantara laki-laki lain yang berdiri di dekat saya. Di sini, posisi saya sudah tidak tegak sempurna.

Pinggang saya mulai sakit terdesak benda entah apa yang dibawa seorang wanita di belakang saya. Bersabar hanya satu kuncinya. Macet mengular sejak memasuki pintu tol hingga berada di sepanjang jalur lingkar luar Jakarta. Menyemangati diri untuk tetap optimis, semangat, tidak boleh menyerah saya lakukan terus menerus. Berusaha tersenyum melihat pantulan wajah saya di salah satu kaca yang ada di pintu.

Menarik nafas dan membuangnya sambil meneriakkan dalam hati, “Kamu Bisa! Impian kamu ada di depan mata!”. Ya, kata itu saya lantunkan berulang kali. Terus menerus hingga mungkin lelaki yang bergelayutan di sebelah saya menganggap saya aneh dengan racauan yang keluar dari bibir saya.

Mobil melaju kencang ketika jalanan sedikit lengang, namun ngerem mendadak tiba-tiba. Pinggang saya terdesak oleh benda yang dibawa penumpang lainnya. Sakit bukan main rasanya. Tiba-tiba saya terbayang wajah Mama, dia yang ada di Jogja, masa depan saya, mimpi saya, dan juga apa yang sedang saya perjuangkan saat ini.

Deg! Saya mellow. Ada gemuruh di dada saya dan rasa yang tertahan di tenggorokan mendesak minta keluar. Saya menahannya, mencoba menyebut nama Tuhan sebanyak yang saya bisa. Saya tak mau kalah dengan kondisi yang harus saya jalani pagi ini. Tanpa terasa ujung mata saya menghangat. Sepasang air mata saya jatuh, meski terhalang dengan sapu tangan yang saya dekapkan erat di hidung menghindari polutan jahanam yang ada di jalanan. Sedih sejadi-jadinya, tapi saya mencoba untuk tegar.

Hingga tiba di perempatan Cilandak, seorang kernet mendorong saya selagi bis masih melaju dengan cepatnya. Saya meminta ia untuk tidak mendorong saya.

“Bang jangan dorong-dorong, nanti saya jatuh,” itu yang saya katakana padanya.

“Makanya naik ke atas!” hardiknya membuat saya kesal. Tapi saya mencoba mengatakan padanya dengan nada biasa saja.

“Saya turun di depan kok bang,”

“ASTAGAAA! Hari gini masih ada ajah orang SOMBONG! Susah banget diatur!” teriaknya kepada saya. Saya kaget dengan kata-katanya. Mungkin kalau saya tadi berbicara dengan nada yang ketus saya maklum dia membalasnya seperti itu. Tapi, ini…

Akhirnya saya memutuskan untuk turun meskipun saya harus berjalan kaki sangat jauh karenanya. Saat saya mencoba menyebrangi jalanan dan berharap lampu lalu lintas masih merah menyala, saya dengar si kernet kurang ajar itu meneriakkan makian pada saya. Makian yang seharusnya tidak saya dengar di Senin pagi. Makian yang bikin siapa saja yang mendengarnya pasti ingin mendaratkan sebuah bogem mentah di mulut kernet kurang ajar itu.

Tapi saya memilih untuk berjalan dan meninggalkannya. Mencoba menghilangkan suaranya dari kepala. Apa daya, suaranya masih saja nyaring di telinga. Saya sakit hati. Air mata saya keluar makin menjadi. Saya terisak di pinggir jalan raya. Mengeluarkan emosi yang sejak tadi mengganjal. Saya marah? Iya. Saya terhina? Iya. Tapi untuk apa saya ladeni makhluk tak berhati tadi? Untuk sebuah kepuasan sesaat? Tidak akan saya biarkan. Jadi saya mengalah hari ini, menangis hari ini karena saya masih manusia. Saya butuh mengeluarkan secuil kerikil yang mengganjal di hati kecil saya. Membersihkan mata saya dengan air mata sementara. Ya, cukup sementara saja. Tak perlu lama-lama!

Jakarta, 4 Februari 2013

Kaki Kecil

kakikecil

Kaki-kaki kecil ini senang menari
senang berlari ke sana ke mari,
bermandi cahaya matahari pagi
dan kadang terbenam di pasir yang tersapu ombak di bibir pantai

Kaki-kaki kecil ini cukup jauh melangkah
bukan lagi ke tempat wisata di penjuru negeri,
tapi kemanapun tempat dimana ia ingin melangkah
tak terbatas jarak, tak terbentur waktu
di sana ia kan menuju…

Kaki-kaki kecil ini kadang lelah,
maka ia akan berhenti sejenak demi menghapus debu sesaat
memberi jeda sebelum ia mulai melangkah lagi

Melangkah dengan pasti
dan akan kembali kemana ia selalu dinanti
Baik saat fajar atau saat matahari beranjak pulang dan hari pun berganti
Itu pasti!

Jakarta, 2 Januari 2013

Senja di Ujung Kota

pendar jingga selalu meninggalkan jejak manis

Terlonjak senang  mendapati pendar warna jingga di ujung sana. Rona yang kian memerah bulat sempurna, tidak pernah kutemukan yang serupa di Jakarta. Hatiku seolah melompat berlari menujunya dan ingin mendekapnya erat agar petang tak segera menjemputnya. Aku memintamu memelankan aksi si panda, sahabat baikmu. Tapi sepertinya kau tak mengindahkan permintaanku kala itu.

Kamu tahu, kemana pun aku pergi, aku akan selalu  mencari senja. Senja yang berbeda di tiap kota yang kusinggahi. Dan pastinya senja itu akan memberikan cerita yang berbeda. Dimana aku menikmatinya, dengan siapa aku menghabiskan senja, tentu akan berbeda sensasinya.

Dan kini, disaat tujuh kali purnama telah terlewati agar aku dapat singgah sejenak di kota ini, kembali aku tidak bisa menangkap semburat jingga sang senja. Ia berlalu begitu saja. Karena memang waktu yang dimilikinya tidaklah banyak. Hanya hitungan menit yang menjepit detik hingga terhimpit. Aku berkejaran dengan petang yang ingin menelannya bulat-bulat tanpa sisa.

Sedangkan aku? Aku ingin menangkap senja dan mengabadikannya di dalam kotak mungil yang selalu kubawa kemanapun aku melangkah pergi. Berharap aku bisa menikmati senja kemanapun kaki kecilku melangkah, dimanapun senja kurindukan, atau ketika senja hilang tertelan awan hitam gembul yang berarak riang.

Atau mungkin ketika sebuah kenangan ingin kupanggil untuk sekedar menumpas rasa haus akan rindu yang berkepanjangan. Ya, itu alasan ku ingin menangkap senja dan menaruhnya dalam kotak mungilku.

Dan ketika senja sore itu tak bisa kutangkap, aku hanya bisa menatapnya lekat-lekat. Berusaha menyimpannya dalam benakku yang kian lama terkikis lupa yang kerap datang dengan kurang ajarnya. Kuharap senja ini tak juga ia makan dengan lahapnya. Setidaknya jangan sekarang!

Ada seuntai tipis damai yang menelusup ke dalam laci-laci hatiku yang sudah berselimut debu. Ia ibarat kemoceng rindu yang membersihkan semua laci kenangan yang enggan kubuka sejak dulu. Dan ia memilinnya dengan rapi sehingga tak ada alasanku tidak menyunggingkan senyum sore itu.

Aku berhasil merajut senja dalam ingatan. Menikmatinya dengan alat pemberian Tuhan ini ternyata lebih membuatku merasakan sejuknya damai dibandingkan aku harus melihatnya dalam bingkai berukuran 5×10 cm.

Aku tak menyesal tidak bisa menangkap senja, toh senja tidak akan pernah sama sejak Seno mengeratnya untuk diberikan kepada Alina. Dan aku tetap bersyukur karena senja kali ini aku menikmatinya bersama semilir angin yang selalu membisikkan senandung rindu setiap waktu.

Stasiun Tugu, Jogja, 27 Oktober 2012
Nona Senja

Perjalanan Itu…

“Gila! Enak banget sih jalan-jalan terus!”

“Kemana aja di sana?”

“Nyobain apa saja?”

Dan banyak lagi pertanyaan klise tiap kali saya pulang beperjalanan. Sejujurnya, saya agak bingung jika ditanya demikian di perjalanan kali ini. Sebuah perjalanan tanpa persiapan, tanpa tujuan pasti setelah sampai dan akan melakukan apa saja di sana, saya tidak punya rencana sama sekali.

Saya hanya mencoba menikmati perjalanan kali ini. Perjalanan mengembalikan sebuah kerinduan dan memanggil segala kenangan manis akan tempat ini. Perjalanan ini hanya mengikuti panggilan hati. Memenuhi kebutuhan jiwa dan mencari sebuah jawaban.

Buat saya, bukan tujuan yang benar-benar menjadi puncak sebuah perjalanan melainkan rangkaian proses dalam beperjalanan. Bagaimana akhirnya saya memilih tujuan itu, bagaimana cara melampauinya hingga apa saja yang akan saya lakukan di sana. Semua itu adalah proses yang harus dinikmati perlahan.

Sebuah proses yang pada akhirnya membawa saya kembali menyusun segala rangkaian jawaban yang tersebar disana.

Buat saya, esensi dari sebuah perjalanan adalah bertemu dengan orang-orang baru. Orang-orang yang akan menorehkan warna baru di hidup saya. Mereka ini adalah ‘pembawa pesan hidup’ dari perjalanan yang dilakukan tanpa pernah saya sadari sepenuhnya. Dan saya selalu senang dengan kejutan yang hadir dalam setiap perjalanan. Selalu bersiap, itu kuncinya!

Obrolan mengalir, cinta terjalin, dan persahabatan pun terbina, atau mungkin waspada? Entahlah, setiap orang akan membawakan sebuah cerita yang berbeda nantinya.

Dan kenapa Jogja? Itu semua hanya karena menebus rindu yang kian membunuh setiap waktu dengan kota ini. Tidak ada tujuan khusus, hanya memenuhi janji pada diri sendiri. Dan apa saja yang terjadi selama saya melakukan perjalanan ini? Temukan semua jawabannya di cerita-cerita saya nanti dengan tag #JogjaTrip.

alone it doesn’t mean lonely, girls! 😉

“Sebuah perjalanan tidak pernah dihitung seberapa jauh kaki melangkah dan seberapa banyak tempat dicapai, melainkan seberapa besar makna hidup yang bisa diambil dari sebuah perjalanan.” – Nona Senja

Senja di Utara Stasiun Tugu, 28 Oktober 2012
Septia Wulan

Cerita Pagi Ini

Pagi ini aku berangkat seperti biasa, tidak ada yang berubah dari hari biasanya. Ketika menaiki angkutan umum yang selalu mengantarku ke tempat dimana aku mencari sesuap nasi, ada yang sedikit aneh. Entahlah, aku merasakannya begitu saja.

Tumben sekali pagi itu angkutan tampak padat, aku duduk disisi yang bermuatan 6 orang. Dan didepan ku terdapat dua orang bapak. Yang satu tampak berumur sekitar 39 tahun dan seorang lagi, kalau kulihat dari guratan wajahnya tampak sekali bapak itu berusia sekitar lebih dari 60th. Tapi mungkin saja penilaian ku itu salah. Continue reading

I Wish I Could Play With Cloud

mylovelycloud

Entah sejak kapan saya jatuh hati padanya. Ia selalu menemani kemanapun langkah kaki ini pergi. Tak pernah peduli saya menganggapnya ada atau pun tidak. Ia selalu ada! Sampai suatu hari saya merenung dan mulai menyadari kehadiran nya sangat indah dan membuat hari hari menjadi semakin cerah.

Tak peduli seberapa sakit sinar matahari membakar kulit dan menyebabkan kulit ini tak lagi nampak cantik mengenakan busana tak berlengan. Ataupun harus menerima kalau saya mengenakan kebaya dan tampak tidak cantik dengan paduan warnanya karena kulit yang belang kiri dan kanan. Continue reading

Perjalanan Singkat Malam Ini

Hari ini saya pulang sedikit lebih larut dari biasanya. Padahal hari ini pekerjaan sedang tidak menumpuk, tapi saya sedikit malas untuk beranjak dari kursi panas ini (hmm.. tampak seperti mas Tantowi saja). Yah, ini karena tuntutan teman-teman untuk mengupload foto pernikahan sahabat semasa kuliah dulu, Leman.

Yah, dengan sedikit kesabaran dan emosi tingkat tinggi melihat foto-foto yang diupload tak kunjung berhasil semakin membuat saya malas beranjak. Huufff!!! Perbincangan dengan seorang teman yang ‘ngotot’ ngajakin saya nonton KCB2 makin bikin emosi(Ketika Cinta Bersambung, hehe sorry ndud) yang jelas-jelas KCB satu saja saya tak menyaksikannya. Gimana mau nonton yang dua?! Ada-ada saja..

Mata lelah dan akhirnya berhasil juga foto-foto ini saya upload. “Waktunya pulang!!” Beres-beres meja dan siap meluncur. Sayang hari ini saya tidak bercengkrama besama rekan sejawat saya di per75an.. Sena. Dia sudah pulang lebih dulu karena sedang mogok bicara! (sariawan plus sakit gigi, ada yang lebih parah?)

Jalanan dari Buncit ke Ragunan masih saja padat, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 7 lewat 15 menit. Biasanya jalan sudah sangat lengang, tapi kali ini padat merayap! Yak, lengkap sekali malam ini.. Macet ditambah gak ada temen untuk berceloteh riang.

Disaat saya sedang melamun, tiba-tiba ada tiga orang yang naik bis. Betapa kagetnya saya melihat orang-orang ini. Kalau diibaratkan film kartun, mungkin mata saya langsung berbinar-binar saat melihat mereka dengan hujan bunga sebagai backgroundnya (Yak, cukup lebay!). Mereka adalah para pengamen jalanan idola saya. Mungkin beberapa dari teman saya sudah pernah mendengar (banyak) cerita tentang pengamen jalanan ini. Betapa saya merindukan si pengamen jalanan ini, ia sudah membuat saya ‘jatuh hati’ sampai detik ini.

Jalanan sudah kembali ‘normal’, deru kendaraan diluar tak membuat saya hilang konsentrasi mendengarkan alunan merdu gesekan biolanya(duh, saya tak pandai mengungkapkannya). Seperti biasa dia membawakan lagu-lagu (hmm.. instrument lebih tepatnya) dari The Corrs. Dan cuma satu kata yang terlontar “KEREN!!!!” Tiba-tiba saja saya merindukan suasana MACET TOTAL di kawasan Pejaten, hanya demi mendengarkan permainannya lebih lama! Huh, ironis!

Kalau sering dengar kalimat “don’t judge the book by its cover” mungkin inilah yang dimaksudkan. Penampilan yang tak jauh dari kata ‘preman’ ini memang membuat orang berpikir dua kali untuk mendekatiya. Sekujur tubuh yang penuh dengan hiasan dan tulisan alias tato, rambut panjang yang digimbal ini selalu diikatnya tak pernah rapi.

Tapi orang ini-yang saya sebut ‘Bang G’-telah membuat saya jatuh hati dengan gesekan biolanya! Tak banyak bicara, namun setiap alunan merdu biolanya mengungkap berjuta makna (halah..lebay mode ON). Kalian yang pernah naik 75 dan bertemu dengannya pasti akan mengatakan hal yang serupa! (pemaksaan ya..) Dan lagi-lagi saya tak bisa mengadakan sebuah wawancara kecil perihal dia dan biolanya. Berhubung panggilan saya untuk segera mengakhiri perjalanan di metro ini. (Pals, u should pay 4 this!)

Jakarta, 19 Oktober 2009 (metro 75 Blok M-Ps.Minggu)
Septia Wulan

*foto dari mbah google

Perjalanan Singkat Malam Ini

 Hari ini saya pulang sedikit lebih larut dari biasanya. Padahal hari ini pekerjaan sedang tidak menumpuk, tapi saya sedikit malas untuk beranjak dari kursi panas ini (hmm.. tampak seperti mas Tantowi saja). Yah, ini karena tuntutan teman-teman untuk mengupload foto pernikahan sahabat semasa kuliah dulu, Leman.

Yah, dengan sedikit kesabaran dan emosi tingkat tinggi melihat foto-foto yang diupload tak kunjung berhasil semakin membuat saya malas beranjak. Huufff!!! Perbincangan dengan seorang teman yang ‘ngotot’ ngajakin saya nonton KCB2 makin bikin emosi(Ketika Cinta Bersambung, hehe sorry ndud) yang jelas-jelas KCB satu saja saya tak menyaksikannya. Gimana mau nonton yang dua?! Ada-ada saja..

Mata lelah dan akhirnya berhasil juga foto-foto ini saya upload. “Waktunya pulang!!” Beres-beres meja dan siap meluncur. Sayang hari ini saya tidak bercengkrama besama rekan sejawat saya di per75an.. Sena. Dia sudah pulang lebih dulu karena sedang mogok bicara! (sariawan plus sakit gigi, ada yang lebih parah?)

Jalanan dari Buncit ke Ragunan masih saja padat, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 7 lewat 15 menit. Biasanya jalan sudah sangat lengang, tapi kali ini padat merayap! Yak, lengkap sekali malam ini.. Macet ditambah gak ada temen untuk berceloteh riang.

Disaat saya sedang melamun, tiba-tiba ada tiga orang yang naik bis. Betapa kagetnya saya melihat orang-orang ini. Kalau diibaratkan film kartun, mungkin mata saya langsung berbinar-binar saat melihat mereka dengan hujan bunga sebagai backgroundnya (Yak, cukup lebay!). Mereka adalah para pengamen jalanan idola saya. Mungkin beberapa dari teman saya sudah pernah mendengar (banyak) cerita tentang pengamen jalanan ini. Betapa saya merindukan si pengamen jalanan ini, ia sudah membuat saya ‘jatuh hati’ sampai detik ini.

Jalanan sudah kembali ‘normal’, deru kendaraan diluar tak membuat saya hilang konsentrasi mendengarkan alunan merdu gesekan biolanya(duh, saya tak pandai mengungkapkannya). Seperti biasa dia membawakan lagu-lagu (hmm.. instrument lebih tepatnya) dari The Corrs. Dan cuma satu kata yang terlontar “KEREN!!!!” Tiba-tiba saja saya merindukan suasana MACET TOTAL di kawasan Pejaten, hanya demi mendengarkan permainannya lebih lama! Huh, ironis!

Kalau sering dengar kalimat “don’t judge the book by its cover” mungkin inilah yang dimaksudkan. Penampilan yang tak jauh dari kata ‘preman’ ini memang membuat orang berpikir dua kali untuk mendekatiya. Sekujur tubuh yang penuh dengan hiasan dan tulisan alias tato, rambut panjang yang digimbal ini selalu diikatnya tak pernah rapi.

Tapi orang ini-yang saya sebut ‘Bang G’-telah membuat saya jatuh hati dengan gesekan biolanya! Tak banyak bicara, namun setiap alunan merdu biolanya mengungkap berjuta makna (halah..lebay mode ON). Kalian yang pernah naik 75 dan bertemu dengannya pasti akan mengatakan hal yang serupa! (pemaksaan ya..) Dan lagi-lagi saya tak bisa mengadakan sebuah wawancara kecil perihal dia dan biolanya. Berhubung panggilan saya untuk segera mengakhiri perjalanan di metro ini. (Pals, u should pay 4 this!)

echa, 19 Oktober 2009 (metro 75 Blok M-Ps.Minggu)

“Please Give Me a Reason To Love You, JAKARTA!”

Petikan kalimat diatas sempat jadi perbincangan yang HOT antara saya dengan beberapa teman. Ini adalah ungkapan rasa kecewa dan juga rasa bosan yang sudah begitu menggunung.

Hal ini bermula dari perjalanan saya menuju sebuah perhelatan yang nota bene berjarak sekitar 15-20 menit dari tempat saya saat itu. Tapi entah ada apa dengan hari itu (Jumat, 5 Juni 09) membuat seluruh jalanan tampak seperti ‘showroom mobil’. Padat tak bergerak yang tersisa hanya deru kendaraan bermotor yang bergumul dengan beragam polutan.

Saya yang mencoba membunuh rasa bosan dengan berbagai cara akhirnya menyerah dengan kondisi seperti itu. Dan eng..ing..eng.. saya tiba 2,5 jam kemudian! Arrrggghh!!!!

Hal ini pun berulang kembali esoknya, DAMN!!! Saya pun lantas menuangkan isis hati saya pada situs pertemanan yang saya punya..Voila.. banyak sekali yang memberikan komentar. Dari yang serius, sampai yang nyeleneh gak keruan..(thanks guys!)

Tapi ada satu komentar yang mampir bukan di situs tersebut tapi justru di inbox HP saya. “Lo lagi kenapa? Kok statusnya seperti itu?” Wuih.. seperti mendapat tiupan angin surga rasanya. Ternyata ‘makhluk malam’ saya ini cukup perhatian, meskipun dia tidak secara langsung mengungkapkannya.

Satu kalimat yang ia sampaikan pada saya terakhir,” Jangan pindah yah, gw masih butuh lo disini.. sebagai guide gw cari tempat makan enak.. hehehe” (gedubraaaaaaakkk..) Perasan saya sudah melambung, eh ternyata buntutnya ‘nggak’ banget, tapi menghiburlah.. :p