“Kemana tujuan pertamamu?”
“Sam Poo Kong,” saya menjawab mantap pertanyaan Ribka.
Setelah kenyang mengganjal perut dengan seporsi pecel dan juga es kolak serta cukup merbahkan diri sejenak, saya melanjutkan perjalanan di Semarang. Kali ini tujuan pertama adalah Sam Poo Kong, salah satu klenteng tua bersejarah yang ada di Jawa Tengah.
Masih ditemani Tante Tris, mama dari Ribka serta pemandu lokal yang menyenangkan. Meski udara Semarang masih cukup panas, namun sinar matahari sudah mulai bersahabat dengan kulit saya. Mobil melaju membelah jalan raya yang tak seberapa padatnya. Dalam hitungan menit, saya sudah tiba di Simongan, tempat dimana klenteng Sam Poo Kong berada.
“Kita sampai!” pekik Ribka antusias.
Ada perasaan yang sulit saya deskripsikan saat menjejakkan kaki di halaman Gedung Batu, nama lain dari Klenteng Sam Poo Kong. Senang yang berlebihan melihat jejak laksamana Cheng Ho dari dekat yang dulu hanya ada dalam cerita di buku sejarah saja. Gapura megah berwarna merah menyala menyambut kedatangan saya. Tidak banyak pengunjung siang itu, hanya beberapa turis lokal yang datang untuk berdoa sepertinya.
Ada tiket yang harus saya bayar untuk menjelajahi kompleks halaman klenteng ataupun bangunan utama. Beruntung, tiket seharga Rp 10.000 saya digratiskan oleh Tante Tris. Memasuki halaman saya disambut oleh bangunan sederhana dengan ornamen Cina yang kental. Kata Tante Tris, saya bisa berfoto menggunakan baju khas kekaisaran Cina di tempat itu, sayangnya petugas yang berjaga sedang tidak ada.
Sam Poo Kong , terdiri dari bangunan utama dan juga beberapa bangunan pendampingnya. Di salah satu sisi halamannya terdapat bangunan yang masih dalam proses pembangunan. Bangunan ini akan dijadikan Gerbang Timur Sam Poo Kong (pembangunan rampung dilakukan di tahun 2012).
Saya tidak mencoba masuk ke dalam klenteng terlalu jauh. Ada beberapa orang yang tengah berdoa khusyuk sekali. Saya mencoba menghormati mereka dengan tidak mengganggunya melalui suara jepretan atau kilatan cahaya kamera. Saya merekamnya dalam hati, apapun yang saat ini mereka yakini untuk diamini.
Satu yang menarik hati saya. Jejeran pilar yang ada di bagian samping bangunan utama. Pilar-pilar berukir naga serta barong sangat detil ditampilkan. Belum lagi jejeran lilin-lilin besar berwarna merah membuat saya takjub.
“Bagus ya, Ka?” suara Tante Tris mengagetkan saya. Sekilas saya menoleh ke arahnya dan mengamini semua yang ia katakan.
“Coba kamu lihat dupa-dupa yang digantung di atas,” kata-katanya langsung menggiring mata saya melihat apa yang ia tunjuk.
Astaga! Banyak sekali dupa tergantung di atas. Bukan dupa-dupa panjang seperti yang digunakan orang untuk sembahyang. Melainkan dupa yang berbentuk melingkar semakin besar.
“Tiap dupa itu ada namanya. Untuk mereka yang nggak bisa datang ke sini (sam poo kong) setiap saat, dupa ini seperti mewakili doa mereka untuk para leluhurnya,” terang Tante Tris menjawab semua tanya di kepala saya.
Jika diperhatikan memang ada sebuah label tergantung di setiap dupa/hio. Itu adalah nama yang dimaksudkan oleh si pengirim doa. Sedangkan lilin-lilin yang berjajar rapi juga mewakili doa dari setiap pengunjung yang pernah datang ke sana. Tidak hanya dupa dan lilin, banyak sekali lampion tergantung di atas. Selain memiliki makna khusus, juga menjadi hiasan cantik di klenteng ini.
Relief sejarah Laksamana Cheng Ho
Dupa dan lampion yang berisi doa
Di bagian belakang bangunan utama, ada bangunan yang dihiasi relief sejarah mengenai Laksamana Cheng Ho. Menariknya, ada sebuah bedug yang menghiasi bangunan ini. Mungkin ini salah satu ciri yang mewakili sisi islam yang dianut oleh Laksamana Cheng Ho.
“Kamu mau diramal?” tanya Ribka mengagetkan saya yang masih takjub melihat detil ornamen di tiap reliefnya.
“Memang di sini bisa minta diramal? Di mana, Ka?” tanya saya heran.
Ribka tidak menjawab pertanyaan saya. Ia langsung menarik lengan saya dan mengajak saya menuju sebuah bangunan yang letaknya sedikit ke bawah. Ada patung kura-kura besar di bagian depannya. Sedangkan di dalamnya, selain persembahan ada juga meja yang digunakan untuk seseorang yang dikatakan bisa meramal itu.
“Yuk!” ajak Ribka kembali.
Tapi saya menolaknya. Saya memilih untuk mengambil gambar orang-orang yang sedang bersembahyang serta mencoba peruntungannya saja.
“Ayo, Ka! Seru lho diramal, siapa tahu kisah percintaanmu bisa diramal juga di sini,” ledek Ribka yang membuat saya mendaratkan sebuah cubitan kecil di lengannya. Ribka menghindar dan tertawa puas meledek saya.
Saat saya kembali ke bangunan utama Sam Poo Kong, saya melihat sekelompok anak muda, mungkin mahasiswa. Mereka mencoba masuk ke dalam klenteng namun dilarang oleh seseorang yang dugaan saya beliau itu adalah penjaga atau tetua yang memang dipercaya di Sam Poo Kong. Padahal mereka membawa dupa dan mengatakan ingin berdoa, tapi sekuat apapun bujuk rayu mereka lontarkan tidak membuat pria tua tersebut melunakkan hatinya.
Hasilnya, para pemuda itu hanya tertunduk lesu. Sepertinya mereka penasaran betul untuk melihat isi di dalam klenteng tersebut. Saya hanya geleng-geleng kepala melihatnya.
Saya mengistirahatkan kaki sejenak. Bersandar pada salah satu patung singa yang ada di halaman Sam Poo Kong. Melihat Ribka yang masih asyik bergaya di depan kamera bersama mamanya.
“Kamu mau masuk?” sebuah tepukan halus di pundak mengagetkan saya.
“Ha? Maksudnya, Pak?” tanya saya masih keheranan dengan teguran barusan.
“Iya. Kamu mau masuk ke dalam? Berdoa di dalam.” Imbuhnya.
“Oh, terima kasih Pak. Saya kesini hanya untuk motret saja. Bukan untuk berdoa,” tolak saya halus takut melukai perasaannya.
“Ndak apa-apa. Kamu juga boleh motret di dalam.”
Duh! Saya semakin rikuh dibuatnya. Rasa penasaran saya sebenarnya sangat ingin menerima undangannya, tapi melihat banyak sekali orang yang tengah berdoa membuat saya enggan mengganggu mereka. Itu jadi etika tidak tertulis yang saya buat sendiri.
Mendengar penolakan saya yang kedua, akhirnya beliau pun memutuskan untuk tidak memaksa lagi.
“Kalau kamu berubah pikiran, saya ada di ujung sana. Kamu bisa ambil hio di sana, jangan sungkan-sungkan ya,” tutupnya berpamitan pada saya. Saya mengangguk menolak halus tawarannya.
“Bapak tadi ngapain, Ka?”
Tante Tris dan Ribka langsung datang menghampiri saya dan bertanya.
“Oh itu tante, nawarin saya masuk ke dalam klenteng buat berdoa. Tapi saya nggak mau, kan saya di sini cuma mau foto-foto narsis,” jelas saya menceritakan yang baru saja terjadi.
“Kenapa kamu nggak iyain aja? Jarang-jarang bapak itu nyuruh orang masuk ke dalam. Tadi aja anak-anak itu sengaja beli hio buat bisa masuk, tapi nggak dibolehin,” jelas Tante Tris sambil mengarahkan tangan ke sekelompok pemuda yang tadi saya lihat.
Saya hanya bisa tersenyum dengan penjelasan Tante Tris dan mencoba mencerna perkataannya. Ada hal aneh yang saya rasakan. Mengapa anak-anak tersebut tidak diperbolehkan masuk? Bukankah kunjungan mereka justru lebih beralasan? Membawa hio dan ingin berdoa di dalam. Ah sudahlah, saya tidak mau memikirkannya terlalu jauh.
Saya lanjut mengabadikan kegiatan saya di sana. Sambil sesekali berpose aneh bersama Ribka. Hari hampir sore, Tante Tris mengajak saya ke lokasi selanjutnya. Saat saya berjalan keluar, saya dicegah oleh Bapak yang tadi berbicara pada saya.
“Tunggu, Nak,”
“Ada apa, Pak?”
“Ini,” ia menyodorkan sebuah gelang giok hijau ke tangan saya.
“Ini untuk saya? Kenapa Pak?” tanya saya masih bingung dengan sikapnya.
“Ini dari Ibu yang di sana,” ia menunjuk seorang nenek tua yang sedang berdiri di salah satu pilar klenteng utama.
“Ibu itu siapa? Dan kenapa saya dikasih ini?” tanya saya kembali.
“Ibu itu salah satu pengunjung tetap di sini. Beliau bukan dari tanah Jawa. Giok ini untuk kamu supaya enteng jodoh,”
Deg! Apa pula maksudnya ini? Saya seperti ‘ditelanjangi’ dengan tatapan matanya. Mata Ibu tua itu dan juga bapak penjaga klenteng.
Saya menerima gelang itu masih dengan wajah keheranan. Masih dengan jutaan tanya di kepala saya berpamitan dengan beliau dan menganggukan kepala kepada wanita tua yang memberikan giok kepada saya.
“Jaga Amoy ini baik-baik, Ama,” ujar bapak penjaga klenteng sambil menepuk-nepuk bahu saya. Ia kemudia pergi meninggalkan saya yang masih terdiam membisu memikirkan apa yang baru saja dikatakannya.
“Amoy yang dimaksud itu kamu, kalau Ama itu artinya nenek. Mungkin yang dilihat Bapak tadi adalah seseorang yang ada ‘dibelakang’ kamu,” terang Tante Tris sambil menggamit lengan saya dan mengajak saya menuju parkiran.
“Sudah, nggak usah dipikirin. Itu tanda yang baik, kok.” Seolah mengerti wajah saya yang masih sangat kebingungan, Tante Tris langsung mengajak saya ke persinggahan selanjutnya.
(bersambung)
Cerita #SemarangTrip lainnya bisa diintip di sini!
Semarang, 25 Maret 2009