Obrolan Cangkir Kopi

“… kamu kayaknya perlu segelas kopi deh, Non. Blandongan?”

Kata-kata itu yang kerap kali dilontarkan olehnya kalau aku mulai mencurahkan emosi yang meluap-luap. Atau aku sedang ingin mengeluarkan secuil pemikiran yang mengganjal seharian.

Ia tak pernah menyambut emosiku dengan emosi lainnya. Ia justru akan meredam emosi ini dengan ajakan secangkir kopi dan obrolan panjang seharian. Aku tetiba teringat olehnya. Ia yang kini jauh berada di kota pelajar yang sedang melanjutkan studinya.

Aku jadi berpikir, apa yang menjadikan kopi begitu nikmat? Atau bagaimana obrolan begitu bersemangat dan mengalir dengan hangat dengan secangkir kopi?

Kalau banyak penikmat nikotin mengatakan kopi dan rokok adalah sahabat, buatku kopi dan sahabat adalah kawan karib yang melegenda. Bagaimana sebuah ide tercipta hanya karena obrolan warung kopi dan bagaimana masalah bisa terselesaikan hanya karena berbagi cerita dari satu cangkir kopi ke cangkir kopi lainnya.

Aku bukanlah pencinta kopi yang mengerti seluk beluk biji kopi hingga menjadi minuman lezat di pagi hari. Aku cukup menjadi penikmat kopi di mana saja, apapun bentuknya. Fresh atau siap saji, aku menikmatinya. Tak lupa seorang atau segerombolan kawan sebagai selingan saat menyesapnya.

Masih hangat dalam benakku, bagaimana perkenalan kami bermula. Secangkir kopi dan senja di sebuah kedai kopi di tengah sawah. Cerita bermula dari aku yang berkomentar tentang senja sore itu yang disambut oleh cerita tentangnya dan bagaimana ia mencintai kopi juga tembakau yang dihisapnya.

Tanpa terasa cerita demi cerita terangkai dengan manisnya dan selalu berakhir ketika senja nyaris tertelan gelapnya malam. Saat itu, aku menyudahi perjumpaan kami. Kucukupkan cerita sore itu dengan sebuah lambaian hangat sebelum kukayuh sepeda kumbangku dengan nada riang.

Begitu setiap hari. Setiap sore, kukayuh sepeda kumbang menuju kedai di tengah sawah. Di sana kutahu ia selalu menungguku dengan senyum dari bibir kehitaman dan nikotin yang terbakar di sela jemari kanan.

Dua cangkir kopi terseduh, menguarkan aroma harum yang memikat. Kusunggingkan senyum untuknya yang sudah bersabar menungguku. Sesapan pertama dan komentar tentang senja hari itu jadi pembuka. Dan menit-menit berikutnya mengalir begitu saja tentunya dengan cangkir kopi yang kembali terisi dari cangkir bergambar bunga mawar.

Aku, dia, dan cangkir-cangkir kopi merangkai cerita. Hanya dengan obrolan sederhana tentang rasa, tentang bagaimana hidup itu semestinya dimata kami, manusia. Tentang persahabatan dan juga cinta, yang terkadang jumlah duka tidak pernah seimbang dengan suka.

Tapi satu hal yang pasti, obrolan cangkir kopi ini akan terus mengalir meski kami tak lagi bisa menikmati cangkir-cangkir kopi di tengah sawah bersama senja. Meski kesibukan menenggelamkan rasa pada akhirnya. Mungkin ada waktunya nanti aku dan dirinya bisa menikmati kopi kami kembali sambil bernostalgia tentang senja, rasa, dan cinta sesama.

Dan soal kopi yang menjadi sahabat setia kala bercerita, aku masih bertanya-tanya. Kubiarkan ia tetap menjadi rahasia. Maka, nikmati saja!

cangkir kopi

 

Senin, 3 Deseber 2012
Lagi-lagi, tulisan ini saya temukan diantara file-file tulisan yang belum sempat ter-posting tahun lalu.
*foto dipinjam di sini

Sebuah Pelukan

Perjalanan ribuan kilometer jauhnya kadang tidak hanya membawa efek lelah pada fisik semata, tapi juga hati dan pikiran. Kadang ada hal-hal yang tidak bisa diduga saat melakukan perjalanan. Inilah yang membuat lelah yang bertumpuk, menggunung, dan kadang melebihi batas maksimal seharusnya.

Seperti semalam, saya tiba di Jakarta dengan penerbangan terakhir dari Makassar dengan menggunakan maskapai penerbangan yang katanya kalau promo paling murah (padahal mahal juga). Saya sudah tidak tahu bagaimana rupa saya semalam. Lelah yang menggunung membuat pertahanan tubuh saya drop ke titik paling rendah. Mungkin di bawah nol. Lelah fisik saat itu semakin jadi karena hati saya yang gelisah dan otak saya yang enggan berhenti memutar banyak rekam gambar kejadian.

Dua jam penerbangan ini terasa menyiksa. Buku tidak lagi menjadi solusi saya dalam mengahalau resah. Roti dan susu hangat tak juga membuat mata saya terpejam sebentar saja. Turbulensi di pesawat semakin memperparah keadaan saya.

Kalau sudah begini yang saya butuhkan hanya satu, sebuah pelukan. Saya butuh pelukan hangat Ibu saya. Saya hanya butuh kecup penuh cinta di kening saya untuk mengusir semua lelah dan resah yang sejak tadi menguasai perasaan saya.

Tiba di rumah malam sudah terlalu larut, namun saya masih tetap disambut dengan sebuah pelukan paling hangat yang pernah saya rasakan selama ini. Benar kata orang, kalau pelukan itu menyembuhkan terlebih pelukan seseorang yang melakukannya dengan tulus atas nama cinta. Entah siapa saja orangnya.

Ah, saya traveler mellow? Entah apa kalian akan menyebutnya. Tapi satu hal yang pasti, ada banyak hal yang membuat semua ini terjadi. Dan pertahanan diri saya runtuh tadi malam. Saya butuh me-recharge diri saya kembali. Menyepi, mungkin jadi solusinya. Saya ingin berdiskusi dengan diri saya lagi apa saja yang sudah terjadi beberapa hari terakhir. Mungkinkah ini berkaitan dengan banyak firasat yang bersliweran belakangan? Entahlah.

 

Kemang, 26 Februari 2013

Hadiah dari Sam Poo Kong

“Kemana tujuan pertamamu?”

“Sam Poo Kong,” saya menjawab mantap pertanyaan Ribka.

Setelah kenyang mengganjal perut dengan seporsi pecel dan juga es kolak serta cukup merbahkan diri sejenak, saya melanjutkan perjalanan di Semarang. Kali ini tujuan pertama adalah Sam Poo Kong, salah satu klenteng tua bersejarah yang ada di Jawa Tengah.

Masih ditemani Tante Tris, mama dari Ribka serta pemandu lokal yang menyenangkan. Meski udara Semarang masih cukup panas, namun sinar matahari sudah mulai bersahabat dengan kulit saya. Mobil melaju membelah jalan raya yang tak seberapa padatnya. Dalam hitungan menit, saya sudah tiba di Simongan, tempat dimana klenteng Sam Poo Kong berada.

“Kita sampai!” pekik Ribka antusias.

SamPooKong

Ada perasaan yang sulit saya deskripsikan saat menjejakkan kaki di halaman Gedung Batu, nama lain dari Klenteng Sam Poo Kong. Senang yang berlebihan melihat jejak laksamana Cheng Ho dari dekat yang dulu hanya ada dalam cerita di buku sejarah saja. Gapura megah berwarna merah menyala menyambut kedatangan saya. Tidak banyak pengunjung siang itu, hanya beberapa turis lokal yang datang untuk berdoa sepertinya.

Ada tiket yang harus saya bayar untuk menjelajahi kompleks halaman klenteng ataupun bangunan utama. Beruntung, tiket seharga Rp 10.000 saya digratiskan oleh Tante Tris. Memasuki halaman saya disambut oleh bangunan sederhana dengan ornamen Cina yang kental. Kata Tante Tris, saya bisa berfoto menggunakan baju khas kekaisaran Cina di tempat itu, sayangnya petugas yang berjaga sedang tidak ada.

Sam Poo Kong , terdiri dari bangunan utama dan juga beberapa bangunan pendampingnya. Di salah satu sisi halamannya terdapat bangunan yang masih dalam proses pembangunan. Bangunan ini akan dijadikan Gerbang Timur Sam Poo Kong (pembangunan rampung dilakukan di tahun 2012).

sam poo kong

Saya tidak mencoba masuk ke dalam klenteng terlalu jauh. Ada beberapa orang yang tengah berdoa khusyuk sekali. Saya mencoba menghormati mereka dengan tidak mengganggunya melalui suara jepretan atau kilatan cahaya kamera. Saya merekamnya dalam hati, apapun yang saat ini mereka yakini untuk diamini.

Satu yang menarik hati saya. Jejeran pilar yang ada di bagian samping bangunan utama. Pilar-pilar berukir naga serta barong sangat detil ditampilkan. Belum lagi jejeran lilin-lilin besar berwarna merah membuat saya takjub.

SamPooKong2

“Bagus ya, Ka?” suara Tante Tris mengagetkan saya. Sekilas saya menoleh ke arahnya dan mengamini semua yang ia katakan.

“Coba kamu lihat dupa-dupa yang digantung di atas,” kata-katanya langsung menggiring mata saya melihat apa yang ia tunjuk.

Astaga! Banyak sekali dupa tergantung di atas. Bukan dupa-dupa panjang seperti yang digunakan orang untuk sembahyang. Melainkan dupa yang berbentuk melingkar semakin besar.

“Tiap dupa itu ada namanya. Untuk mereka yang nggak bisa datang ke sini (sam poo kong) setiap saat, dupa ini seperti mewakili doa mereka untuk para leluhurnya,” terang Tante Tris menjawab semua tanya di kepala saya.

Jika diperhatikan memang ada sebuah label tergantung di setiap dupa/hio. Itu adalah nama yang dimaksudkan oleh si pengirim doa. Sedangkan lilin-lilin yang berjajar rapi juga mewakili doa dari setiap pengunjung yang pernah datang ke sana. Tidak hanya dupa dan lilin, banyak sekali lampion tergantung di atas. Selain memiliki makna khusus, juga menjadi hiasan cantik di klenteng ini.

Di bagian belakang bangunan utama, ada bangunan yang dihiasi relief sejarah mengenai Laksamana Cheng Ho. Menariknya, ada sebuah bedug yang menghiasi bangunan ini. Mungkin ini salah satu ciri yang mewakili sisi islam yang dianut oleh Laksamana Cheng Ho.

“Kamu mau diramal?” tanya Ribka mengagetkan saya yang masih takjub melihat detil ornamen di tiap reliefnya.

“Memang di sini bisa minta diramal? Di mana, Ka?” tanya saya heran.

Ribka tidak menjawab pertanyaan saya. Ia langsung menarik lengan saya dan mengajak saya menuju sebuah bangunan yang letaknya sedikit ke bawah. Ada patung kura-kura besar di bagian depannya. Sedangkan di dalamnya, selain persembahan ada juga meja yang digunakan untuk seseorang yang dikatakan bisa meramal itu.

SamPooKong6

“Yuk!” ajak Ribka kembali.

Tapi saya menolaknya. Saya memilih untuk mengambil gambar orang-orang yang sedang bersembahyang serta mencoba peruntungannya saja.

“Ayo, Ka! Seru lho diramal, siapa tahu kisah percintaanmu bisa diramal juga di sini,” ledek Ribka yang membuat saya mendaratkan sebuah cubitan kecil di lengannya. Ribka menghindar dan tertawa puas meledek saya.

Saat saya kembali ke bangunan utama Sam Poo Kong, saya melihat sekelompok anak muda, mungkin mahasiswa. Mereka mencoba masuk ke dalam klenteng namun dilarang oleh seseorang yang dugaan saya beliau itu adalah penjaga atau tetua yang memang dipercaya di Sam Poo Kong. Padahal mereka membawa dupa dan mengatakan ingin berdoa, tapi sekuat apapun bujuk rayu mereka lontarkan tidak membuat pria tua tersebut melunakkan hatinya.

Hasilnya, para pemuda itu hanya tertunduk lesu. Sepertinya mereka penasaran betul untuk melihat isi di dalam klenteng tersebut. Saya hanya geleng-geleng kepala melihatnya.

Saya mengistirahatkan kaki sejenak. Bersandar pada salah satu patung singa yang ada di halaman Sam Poo Kong. Melihat Ribka yang masih asyik bergaya di depan kamera bersama mamanya.

“Kamu mau masuk?” sebuah tepukan halus di pundak mengagetkan saya.

“Ha? Maksudnya, Pak?” tanya saya masih keheranan dengan teguran barusan.

“Iya. Kamu mau masuk ke dalam? Berdoa di dalam.” Imbuhnya.

“Oh, terima kasih Pak. Saya kesini hanya untuk motret saja. Bukan untuk berdoa,” tolak saya halus takut melukai perasaannya.

“Ndak apa-apa. Kamu juga boleh motret di dalam.”

Duh! Saya semakin rikuh dibuatnya. Rasa penasaran saya sebenarnya sangat ingin menerima undangannya, tapi melihat banyak sekali orang yang tengah berdoa membuat saya enggan mengganggu mereka. Itu jadi etika tidak tertulis yang saya buat sendiri.

Mendengar penolakan saya yang kedua, akhirnya beliau pun memutuskan untuk tidak memaksa lagi.

“Kalau kamu berubah pikiran, saya ada di ujung sana. Kamu bisa ambil hio di sana, jangan sungkan-sungkan ya,” tutupnya berpamitan pada saya. Saya mengangguk menolak halus tawarannya.

“Bapak tadi ngapain, Ka?”

Tante Tris dan Ribka langsung datang menghampiri saya dan bertanya.

“Oh itu tante, nawarin saya masuk ke dalam klenteng buat berdoa. Tapi saya nggak mau, kan saya di sini cuma mau foto-foto narsis,” jelas saya menceritakan yang baru saja terjadi.

SamPooKong5

“Kenapa kamu nggak iyain aja? Jarang-jarang bapak itu nyuruh orang masuk ke dalam. Tadi aja anak-anak itu sengaja beli hio buat bisa masuk, tapi nggak dibolehin,” jelas Tante Tris sambil mengarahkan tangan ke sekelompok pemuda yang tadi saya lihat.

Saya hanya bisa tersenyum dengan penjelasan Tante Tris dan mencoba mencerna perkataannya. Ada hal aneh yang saya rasakan. Mengapa anak-anak tersebut tidak diperbolehkan masuk? Bukankah kunjungan mereka justru lebih beralasan? Membawa hio dan ingin berdoa di dalam. Ah sudahlah, saya tidak mau memikirkannya terlalu jauh.

Saya lanjut mengabadikan kegiatan saya di sana. Sambil sesekali berpose aneh bersama Ribka. Hari hampir sore, Tante Tris mengajak saya ke lokasi selanjutnya. Saat saya berjalan keluar, saya dicegah oleh Bapak yang tadi berbicara pada saya.

“Tunggu, Nak,”

“Ada apa, Pak?”

“Ini,” ia menyodorkan sebuah gelang giok hijau ke tangan saya.

“Ini untuk  saya? Kenapa Pak?” tanya saya masih bingung dengan sikapnya.

“Ini dari Ibu yang di sana,” ia menunjuk seorang nenek tua yang sedang  berdiri di salah satu pilar klenteng utama.

“Ibu itu siapa? Dan kenapa saya dikasih ini?” tanya saya kembali.

“Ibu itu salah satu pengunjung tetap di sini. Beliau bukan dari tanah Jawa. Giok ini untuk kamu supaya enteng jodoh,”

Deg! Apa pula maksudnya ini? Saya seperti ‘ditelanjangi’ dengan tatapan matanya. Mata Ibu tua itu dan juga bapak penjaga klenteng.

Saya menerima gelang itu masih dengan wajah keheranan. Masih dengan jutaan tanya di kepala saya berpamitan dengan beliau dan menganggukan kepala kepada wanita tua yang memberikan giok kepada saya.

“Jaga Amoy ini baik-baik, Ama,” ujar bapak penjaga klenteng sambil menepuk-nepuk bahu saya. Ia kemudia pergi meninggalkan saya yang masih terdiam membisu memikirkan apa yang baru saja dikatakannya.

“Amoy yang dimaksud itu kamu, kalau Ama itu artinya nenek. Mungkin yang dilihat Bapak tadi adalah seseorang yang ada ‘dibelakang’ kamu,” terang Tante Tris sambil menggamit lengan saya dan mengajak saya menuju parkiran.

“Sudah, nggak usah dipikirin. Itu tanda yang baik, kok.” Seolah mengerti wajah saya yang masih sangat kebingungan, Tante Tris langsung mengajak saya ke persinggahan selanjutnya.

(bersambung)

Cerita #SemarangTrip lainnya bisa diintip di sini!
Semarang, 25 Maret 2009

Teruntuk: Kapten Bule’ si Kawan Timur

Hei, kapten! Iya, kamu. Jangan berlagak bingung, wajahmu tak lagi sedap ketika bingung. Kemana saja dirimu? Menghilang tanpa meninggalkan pesan kepadaku yang dirundung tanya berjuta-juta. Adakah kau merindukanku? Ah, kuyakin engkau terlalu gengsi untuk menyatakan rindumu untukku.

Mungkin memang harus aku lebih dulu yang menghembuskan embun rindu di jejaring sosialmu. Yang sepertinya sudah lama betul tak kau singgahi. Bagaimana tidak, induk laba-laba saja sampai betah beranak pinak di sana. Perlukah kukirimkan sejumput bulu-bulu ayam yang terselip diantara racauanku ini? Agar kau bisa berbenah diri untuk menemuiku, menyambutku di ‘rumahmu’?

Sebenarnya aku ingin marah padamu! Karena telah meninggalkanku dalam benak yang kini bisu. Aku merana, kehilangan kata dan musuh paling setia dalam setiap canda. Tapi sepertinya rindu yang terbendung jauh lebih menguasaiku dibanding amarah yang kini tampaknya mulai luntur. Aku merindu bermain kata denganmu. Berkubang dalam imajinasi dan impian yang dulu seringkali kita pilin bersama saat senja beranjak sirna. Atau kadang kau menyapaku dengan gelisah dan hausmu akan untaian kata yang menghantui beberapa waktu.

Kapten, apa yang kau lakukan kini? Masihkah kau berkubang dengan huruf dan tanda baca? Masihkah kau membiarkan jemarimu menari tanpa jeda? Aku ragu. Tak kutemukan jejakmu yang biasa kau torehkan di dinding ‘rumahku’. Apakah rupiah sudah melenakanmu dan merenggut waktu bermain dengan jemari dan imaji? Atau rutinitas telah mengekang semua luapan kata yang biasanya membanjiri kepala hingga ingin kau bungkam sejenak rasanya? Hmmm… Aku tak mau egois, memburumu dengan beribu tanya dan rasa kesalku. Sebelum kudengar kisahmu, aku ingin berbagi sedikit…umm, mungkin keluhku. Semoga kau berkenan membiarkan matamu bekerja sedikit lebih lama untuk membaca cericauku.

Kau tahu, keseharianku kini bergelut dengan kopaja. Bergelayutan setiap harinya, tidak ubahnya monyet saja! Tak jarang aku bersitegang dengan kernet kopaja yang sering ngeyel memadatkan isi kopaja meskipun kopaja sudah oleng ke kiri. Nyawa manusia tidak ada harganya di dalam kopaja, Kapten! Berdandan cantik pun percuma ketika dihadapkan dengan kopaja. Sia-sia saja rasanya. Peluh sebesar biji jagung berlarian menggayut manja pada wajah-wajah penuh harap dan kecewa.

Belum lagi kalau kopaja tua itu terbatuk-batuk di tengah jalan bebas hambatan, ah rasanya cemas merundung semua penumpang. Jangan sampai ia mogok dan membuat satu masalah baru lagi. Mana mungkin mencari kopaja lain di tengah jalan tol. Setidaknya itu doa sederhana penumpang kopaja tua.

Kadang aku begitu merindukan desa kecil yang pernah kita tinggali tahun lalu. Setahun lalu, Kapten! Tak terasa betul waktu terbang meninggalkan kita dengan berjuta kenangan manis. Mana pernah kutemui macet yang demikian mengular di jalan raya. Aku merindukan gowes ceria, menghirup udara pagi dan diburu waktu hanya takut terlambat dan mentraktir kawan-kawan segelas Joshua atau sarapan mi goreng racikan Mba Ida. Hehe..

O ya Kapten, di Jakarta sekarang ini sudah memasuki musim penghujan. Ribuan serdadu langit biasa menyapa ketika petang menjelang. Kalau sudah begitu, sudah dipastikan bahwa beberapa daerah di Jakarta akan lumpuh total. Banjir? Oh, bukan kapten! Hanya genangan, tapi imbasnya bisa melumpuhkan banyak jalan di Jakarta. Perjalanan menuju dekapan hangat bunda pun harus tertunda selama dua hingga tiga jam dari total empat puluh lima menit seharusnya.

Kamu tentu ingat, betapa aku menyukai hujan bukan?! Ingat saat kita mengayuh sepeda ke lapangan dekat dengan kuburan, dan mengabadikan momen itu dalam bidikan kameraku dengan pemandangan lembayung senja ditengah hamparan perkebunan tebu sebagai  latarnya? Tetiba hujan datang, mengguyur kita. Kita berlarian, dan segera menyambar sepeda tua sewaan yang entah berapa kali bermasalah dengan rodanya. Haha, tapi kita menikmatinya! Umm..maaf, aku ralat. Aku yang sangat menikmatinya, dan kau hanya bergeleng-geleng kepala melihat kelakuanku yang menikmati terpaan lembut prajurit air sore itu.

Aku juga masih ingat betul, obrolan kita yang lebih mirip perdebatan mengenai ‘orang buta dan warna’ yang tidak pernah berakhir sampai kepulanganku ke ibukota. Nasi gila racikan Mak Eka tidak pernah terasa sedap tanpa bumbu perbincangan kita tiap malam. Sayangnya, waktu tidak pernah berpihak pada kita dan selalu saja habis ketika perdebatan sedang menuju puncaknya. Dan, kita harus berpisah karena jam malam yang diberlakukan asramaku kala itu.

Ah, maafkan aku! Membuatmu mengingat semua kenangan manis di sana. Mencungkil-cungkil kenangan yang selalu membuatku haru adalah candu ketika Jakarta begitu hebat merajamku dengan penat. Sesak terhimpit waktu sampai kadang membuatku lupa untuk sekedar memutar kembali apa saja yang patut kusyukuri seharian ini.

Hmm..sepertinya cericauku sudah ngelantur kemana-mana. Kucukupkan dulu saja, aku tak mau kau mati bosan mendengar suaraku bercerita dan membuat matamu pegal membacanya. Aku menantikan ceritamu dari timur sana. Seperti apa kondisimu saat ini? Apakah masih tak berdaging seperti dulu? Hehe.. apapun ceritamu, kutunggu! Meski senja telah beranjak petang yang membuatku harus bekerja ekstra agar mata ini bisa beradaptasi dengan layar mungil di hadapanku.

Salam Rindu,

Nona Senja

Ps: Tulisan ini dibuat demi menebus rindu kawan lama yang sekarang berada di Indonesia Timur. Semoga kau berkenan membacanya, kawan! ^^

Untukmu Terkasih

Untukmu terkasih,

Aku yakin kamu pasti tidak pernah mengira akan mendapatkan sesuatu semacam ini dariku. Sejujurnya akupun tak pernah membayangkan akan menulis seperti ini kepadamu. Hanya saja, belakangan ini kita tak punya banyak waktu untuk  bertatap muka sekedar bertukar kabar. Maka kuputuskan untuk menulis ini kepadamu.

Untukmu terkasih,

Hari ini adalah hari biasa, tak ada yang istimewa. Mentari dan senja masih saja akrab menari-nari diatas kita, dibatas kota seperti biasa, sampai petang datang menjemput mereka. Tak banyak kata yang bisa kutulis padamu, dan ku tahu seberapa kemampuanku menuangkan kata-kata. Dan selalu saja  meskipun begitu banyak cerita, keluh kesah dan gurauan sederhana yang ingin kusampaikan padamu. Dan surat ini terlalu sempit untuk menampung semuanya.  Menampung semua cerita yang kupendam selama kita belum berjumpa. Meskipun aku tahu engkau tak pernah keberatan untuk membaca semuanya dan berlama-lama untuk mengulanginya, seperti biasanya ketika kau membaca pesan-pesanku yang kau simpan ditelepon genggammu.

Hari ini adalah hari biasa, tak ada yang istimewa. Aku bergumul dengan keseharianku, aku yakin kau pun begitu.  Meski begitu, kau selalu saja terselip indah di dalam imaji rindu di tengah keseharianku. Nampaknya kesibukan yang bertumpuk tak pernah bisa mengenyahkanmu, mengenyahkan sore-sore itu dari otakku saat kita bicara dalam kata tak bernada dan tertawa dalam ruang maya tanpa jeda dengan leluasa.

Hari ini adalah hari biasa, tak ada yang istimewa. Motor butut ini pun masih saja berlaku seperti biasa.  Mogok! Aku terpaksa berjalan menuntun si butut ini menempuh jalan pulang. Kau tahu, di jalan yang kulewati aku melihat pasangan lanjut usia, penjual kacang rebus. Mereka tua tentu saja, namun terlihat sekali bahagia terpancar dari wajah mereka. Mau tak mau aku jadi membayangkan kita berdua, melahirkan dan membesarkan anak-anak kita yang lucu dan tak bisa diatur semua, sampai akhirnya kita menua dan menjadi pasangan lansia. Hidup sederhana dan bahagia. Tapi itu semua terhenti di anganku saja.

Hari ini adalah hari biasa, meski cukup istimewa karena hari ini aku baru menyadari sesuatu. Sesuatu yang berbeda, sesuatu yang menyesakkan dada. Aku tak lagi mengenalmu, tak lagi tahu pandanganmu dan tak lagi bisa mendampingimu, karena aku tahu kau telah bersama dia, mungkin untuk selamanya.

Cintaku kepadamu seperti gravitasi. Semuanya sangat biasa dan alami. Tapi selayaknya manusia dan gravitasi, aku diharuskan melawannya setiap hari. Dan bersikap seperti biasa.

Untukmu terkasih,

Hari ini adalah hari yang biasa, aku mengepalkan tangan seperti biasa dan aku akan tetap mencintaimu seperti biasanya. Meski semuanya tak lagi sama.

 

Surat untuk Takita

Hai Takita…

Apa kabarmu di sana? Kakak baru saja membaca suratmu. Surat manis yang penuh harapan dan juga mewakili  mimpi banyak anak-anak di luar sana. Tidak hanya yang ‘karib’ dengan dunia maya sepertimu tapi juga mimpi mereka yang berada di pelosok negeri. Kamu tahu Takita, Kakak juga punya mimpi yang sama dengamu. Membagikan cerita ke banyak anak-anak di seluruh negeri ini. Mendengar mereka bebas berceloteh dan berimajinasi, serta belajar banyak hal tanpa terbebani rentetan tugas yang kadang merenggut waktu main mereka.

Kakak tidak seberuntung kamu Takita, yang dihadiahi baaaaanyak sekali cerita dari Ayah, Bunda, dan kakak-kakak yang peduli. Tapi, kakak cukup beruntung mendengar sebuah cerita yang selalu kakak dengar sejak kecil. Yaitu Si Kancil. Iya, si kancil musuh nya Pak Tani, Takita. Ibu kakak selalu menceritakan cerita itu berulang-ulang, tapi kakak tidak pernah bosan. Meskipun hanya satu cerita, tapi hal itu membawa kenangan manis untuk kakak ketika dewasa. Dan kakak ingin sekali adik-adik di luar sana juga merasakan kebahagiaan kecil itu melalui cerita.

Oiya, kakak senang sekali bercerita Takita (meskipun saat ini suara kakak sedang hilang 😦 ), setiap hari Minggu kakak dan beberapa teman senang mengumpulkan anak-anak yang tinggal di sekitar rumah. Kami biasa mendongeng cerita-cerita, baik yang diangkat dari buku ataupun cerita buatan kami sendiri. Selain dongeng, ada juga games dan aktivitas yang berkaitan dengan tema dongeng kala itu.

Seperti tema yang mengangkat tentang cerita Gurita, adik-adik kakak ajak untuk membuat sebuah miniatur gurita dari gelas air mineral. Kakak juga pernah ajak mereka membuat pembatas buku dari kertas bekas ketika tema hari itu adalah Perpustakaan. Wah, pokoknya seru deh! Hehe.. Kakak juga biasanya ajak adik-adik ini bernyanyi bersama. Mengenalkan lagu anak-anak yang pernah kakak dapat sewaktu kecil. Soalnya kakak sedih Takita, mereka hanya mengenal lagu orang dewasa kekinian saja. Huks… Tapi syukurlah, sekarang mereka sudah bisa menyanyikan lagu-lagu seperti “Aku Bisa”, “Becak”, “Ikan di dalam Kolam” (nah, lagu ini diciptakan oleh salah seorang teman kakak) dan masih banyak lagi yang lain.

Wah.. kakak sampe lupa ngenalin. Kegiatan kakak dan teman-teman ini namanya Dongeng Minggu. Kenapa Dongeng Minggu? Sebenarnya sih iseng saja, kegiatan utamanya adalah mendongeng dan diadakan setiap hari Minggu, jadi biar enak nyebutnya kakak dan kawan-kawan sepakat untuk menamakannya Dongeng Minggu. Kegiatan ini rencananya akan diadakan berkeliling Takita. Jadi tidak hanya adik-adik di sekitar rumah kakak saja yang bisa mendengarkan cerita, tapi juga adik-adik yang ada di tempat lain. Tidak melulu adik-adik yang duduk di bangku sekolahan, tapi juga mereka yang aktif di jalanan.

Oiya, kalau kamu sempat, datang dan main bersama dengan adik-adik di Dongeng Minggu yuk, Takita. Mereka pasti senang dengan kedatangan kamu dan kakak-kakak Indonesia Bercerita lainnya. Tetap semangat mengingatkan Ayah, Bunda, dan kakak-kakak yang kadang terlampau sibuk ini yaa Takita..  🙂 Dan kakak juga akan terus dukung Takita untuk menyebarkan semangat bercerita kepada setiap orang yang kakak kenal.

Jangan bersedih lagi ya Takita.. oiya, kakak ada satu cerita untuk kamu nih.. Semoga kamu suka ya.. “Kisah Peri Warna

Peluk Cium untuk Takita,

Kak Wulan 🙂

Spoken or Unspoken (?)

“Some words better left unspoken”

Itulah kata-kata yang saya ucapkan kepada seorang teman suatu hari ketika ia menanyakan satu pertanyaan. Ia, kawan saya ini, tak lantas menerima pernyataan saya begitu saja. Saya tahu, ia adalah teman debat paling tangguh sejauh ini. Ia takkan rela mengiyakan kata-kata saya dengan mudahnya.

“Itu hanya berlaku bagi ‘orang lama’ saja Lan, kalau sekarang itu sudah berganti cerita. Buatku, ‘Every words are better spoken even when those words are bitter than the truth” itu jawabnya.

Akhirnya, ini justru jadi tema perbincangan kami selanjutnya.

Secara jujur saya katakan, memang saya menyetujui apa yang ia utarakan. Kejujuran adalah segalanya. Baik atau tidaknya yang disampaikan tidak akan membuat sakit hati yang mendengarkan terlalu lama. Kadang  orang memilih untuk mengutarakan hal-hal yang ingin orang lain dengar ketimbang keadaan yang sebebnarnya. Dan parahnya lagi, kita (saya juga termasuk) seringkali menginginkan orang lain mengatakan hal-hal yang ingin kita dengar saja. Ini bahaya!

Ini tidak akan membuat sebuah kemajuan pada diri sendiri. Kita akan terlenakan dengan buai puji orang lain sampai lupa untuk menjejak bumi dan memperbaiki kesalahan diri. Ini yang sering saya takutkan. Takut akan kepuasan yang terlalu dini, dan akhirnya membuat saya berhenti untuk memajukan diri atau mungkin berkarya lagi.

Tapi, untuk masalah yang ia tanyakan, sebenarnya memang tak perlu saya jelaskan. Ia saja yang menuntut detail setiap hal yang jadi perbincangan kami, tapi saya mulai terbiasa dengan itu semua. Meskipun kadang sebal juga sih. hehe..

Jadi perdebatan ini dimulai dari obrolan :

“Kalau kamu sempat, mampir acara launching albumku ya akhir pekan ini”

“Waaah, akhirnya.. penantian panjang akan datang. Tapi, aku gak bisa dateng weekend ini. Ada undangan nonton Maliq”

“Yaaah.. sedih deh aku. 😦 Btw, Maliq siapa sih?”

dengan asal saya jawab “Maliq and d’essential lah, masa Maliq dan Ridwan, hehe” dengan harapan dia tidak perlu bertanya lagi.

“Ehmm..emang Ridwan siapa?”

Dhuaaarrrrr… “Some words better left unspoken” Yaiyalah, kalau saya jelaskan hilanglah sudah esensi lucu nya. Tapi sepertinya saya harus lebih bersabar dengannya. Ia terlalu serius menanggapi semua hal.. *mengelus dada* *dada orang lain* *plak!*

Perjalanan Singkat Malam Ini

 Hari ini saya pulang sedikit lebih larut dari biasanya. Padahal hari ini pekerjaan sedang tidak menumpuk, tapi saya sedikit malas untuk beranjak dari kursi panas ini (hmm.. tampak seperti mas Tantowi saja). Yah, ini karena tuntutan teman-teman untuk mengupload foto pernikahan sahabat semasa kuliah dulu, Leman.

Yah, dengan sedikit kesabaran dan emosi tingkat tinggi melihat foto-foto yang diupload tak kunjung berhasil semakin membuat saya malas beranjak. Huufff!!! Perbincangan dengan seorang teman yang ‘ngotot’ ngajakin saya nonton KCB2 makin bikin emosi(Ketika Cinta Bersambung, hehe sorry ndud) yang jelas-jelas KCB satu saja saya tak menyaksikannya. Gimana mau nonton yang dua?! Ada-ada saja..

Mata lelah dan akhirnya berhasil juga foto-foto ini saya upload. “Waktunya pulang!!” Beres-beres meja dan siap meluncur. Sayang hari ini saya tidak bercengkrama besama rekan sejawat saya di per75an.. Sena. Dia sudah pulang lebih dulu karena sedang mogok bicara! (sariawan plus sakit gigi, ada yang lebih parah?)

Jalanan dari Buncit ke Ragunan masih saja padat, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 7 lewat 15 menit. Biasanya jalan sudah sangat lengang, tapi kali ini padat merayap! Yak, lengkap sekali malam ini.. Macet ditambah gak ada temen untuk berceloteh riang.

Disaat saya sedang melamun, tiba-tiba ada tiga orang yang naik bis. Betapa kagetnya saya melihat orang-orang ini. Kalau diibaratkan film kartun, mungkin mata saya langsung berbinar-binar saat melihat mereka dengan hujan bunga sebagai backgroundnya (Yak, cukup lebay!). Mereka adalah para pengamen jalanan idola saya. Mungkin beberapa dari teman saya sudah pernah mendengar (banyak) cerita tentang pengamen jalanan ini. Betapa saya merindukan si pengamen jalanan ini, ia sudah membuat saya ‘jatuh hati’ sampai detik ini.

Jalanan sudah kembali ‘normal’, deru kendaraan diluar tak membuat saya hilang konsentrasi mendengarkan alunan merdu gesekan biolanya(duh, saya tak pandai mengungkapkannya). Seperti biasa dia membawakan lagu-lagu (hmm.. instrument lebih tepatnya) dari The Corrs. Dan cuma satu kata yang terlontar “KEREN!!!!” Tiba-tiba saja saya merindukan suasana MACET TOTAL di kawasan Pejaten, hanya demi mendengarkan permainannya lebih lama! Huh, ironis!

Kalau sering dengar kalimat “don’t judge the book by its cover” mungkin inilah yang dimaksudkan. Penampilan yang tak jauh dari kata ‘preman’ ini memang membuat orang berpikir dua kali untuk mendekatiya. Sekujur tubuh yang penuh dengan hiasan dan tulisan alias tato, rambut panjang yang digimbal ini selalu diikatnya tak pernah rapi.

Tapi orang ini-yang saya sebut ‘Bang G’-telah membuat saya jatuh hati dengan gesekan biolanya! Tak banyak bicara, namun setiap alunan merdu biolanya mengungkap berjuta makna (halah..lebay mode ON). Kalian yang pernah naik 75 dan bertemu dengannya pasti akan mengatakan hal yang serupa! (pemaksaan ya..) Dan lagi-lagi saya tak bisa mengadakan sebuah wawancara kecil perihal dia dan biolanya. Berhubung panggilan saya untuk segera mengakhiri perjalanan di metro ini. (Pals, u should pay 4 this!)

echa, 19 Oktober 2009 (metro 75 Blok M-Ps.Minggu)

“Please Give Me a Reason To Love You, JAKARTA!”

Petikan kalimat diatas sempat jadi perbincangan yang HOT antara saya dengan beberapa teman. Ini adalah ungkapan rasa kecewa dan juga rasa bosan yang sudah begitu menggunung.

Hal ini bermula dari perjalanan saya menuju sebuah perhelatan yang nota bene berjarak sekitar 15-20 menit dari tempat saya saat itu. Tapi entah ada apa dengan hari itu (Jumat, 5 Juni 09) membuat seluruh jalanan tampak seperti ‘showroom mobil’. Padat tak bergerak yang tersisa hanya deru kendaraan bermotor yang bergumul dengan beragam polutan.

Saya yang mencoba membunuh rasa bosan dengan berbagai cara akhirnya menyerah dengan kondisi seperti itu. Dan eng..ing..eng.. saya tiba 2,5 jam kemudian! Arrrggghh!!!!

Hal ini pun berulang kembali esoknya, DAMN!!! Saya pun lantas menuangkan isis hati saya pada situs pertemanan yang saya punya..Voila.. banyak sekali yang memberikan komentar. Dari yang serius, sampai yang nyeleneh gak keruan..(thanks guys!)

Tapi ada satu komentar yang mampir bukan di situs tersebut tapi justru di inbox HP saya. “Lo lagi kenapa? Kok statusnya seperti itu?” Wuih.. seperti mendapat tiupan angin surga rasanya. Ternyata ‘makhluk malam’ saya ini cukup perhatian, meskipun dia tidak secara langsung mengungkapkannya.

Satu kalimat yang ia sampaikan pada saya terakhir,” Jangan pindah yah, gw masih butuh lo disini.. sebagai guide gw cari tempat makan enak.. hehehe” (gedubraaaaaaakkk..) Perasan saya sudah melambung, eh ternyata buntutnya ‘nggak’ banget, tapi menghiburlah.. :p