Jangan Tanam Terlalu Lama

Rasa takut adalah belukar yang siap membelit siapa saja yang membiarkan dirinya dicekam perasaan itu

Semalam saya gelisah. Tidak bisa tidur hingga pukul 2 dini hari. Lama sekali saya tidak pernah seperti ini. Ada banyak hal yang mampir dan iseng main-main di kepala saya. Berdialog dengan si kecil di kepala dan akhirnya memenuhi memori otak saya yang terbatas jumlahnya.

Ia memberikan banyak kekhawatiran dan rasa takut di kepala saya. Pada akhirnya membuat saya gelisah. Apakah ini ada kaitannya dengan informasi terbaru yang saya ketahui?

Ah, sial! Kenapa saya harus tahu kebenaran lebih dulu? Ada ketakutan yang-sialnya- memang mengahantui saya.

Tak ingin merasa gelisah dan takut sendiri, saya layangkan beberapa pesan singkat kepada dua orang sahabat saya. Saya tidak mengharapkan sebuah jawaban dari mereka. Saya tahu ini bukan jam wajar untuk berkirim pesan. Tapi setidaknya saya sedikit lega saat menuliskan pesan itu, yang entah kapan akan dibaca.

Bip bip

Sebuah pesan masuk. Pesan saya terjawab segera. Ah, senang betul saya membaca pesannya. Untung saja ia belum pergi jauh ke alam mimpi, kalau tidak tentu sangat susah untuknya dibangunkan.

Tapi saya rasa dia tengah kesambet. Jawaban yang tertulis sangatlah bijak, bukan karakternya sekali! Dia selalu saja meledek saya jarang berbalut kebijaksanaan meski saya tahu ada makna dibalik gurauannya.

Kekhawatiran memang wajar, tapi jangan dibuat berlebihan. Itu katanya. Hidup manusia berputar dan ketakutan jangan pernah bertahan lama di dalam kepala. Karena ia akan hidup dan nyata selama kita pikirkan.

“Macam kamu yang nggak pernah takut pulang malam, baik dari orang jahat ataupun hantu. Karena takutmu itu nggak pernah hinggap lama di kepala. Lantas kenapa ketakutan yang lain tidak dibuat sama dengan takutmu yang satu itu?” itu ujarnya pada saya.

Shit!

Dia benar! Saya tak pernah takut pulang malam, naik angkot kemana saja, orang jahat, jalan sendirian, hantu atau apapun. Karena saya tidak pernah menanamkan rasa takut itu di kepala lama-lama. Sebentar saja, lalu semuanya baik-baik saja.

Ya.. semuanya akan baik-baik saja. All is well!

 

*tulisan ini sudah ada di kotak draft sejak 22 Mei 2013 lalu, tapi tidak pernah sempat dipublish di sini*

Kalau Rindu Mau Bilang Apa?

28 Juni 2013

Ini adalah tahun kedua saya gantung pena serta kamera sebagai pewarta. Tidak ada yang spesial memang. Tapi terkadang ada hal-hal rutin yang saya rindukan. Seperti halnya tiap kali menyambut puasa. Ya, persis seperti minggu-minggu ini.

Dulu, awal puasa saya sudah punya setumpuk jadwal yang padat merayap lajunya. Sejak hari pertama saja, undangan sudah duduk manis di atas meja kerja saya. Belum lagi yang melalui telepon ataupun email. Tak sedikit yang saya tolak karena saya sudah keburu umbar janji dengan pihak lain.

Atau biasanya saya akan berbagi tugas dengan rekan saya. Tapi kalau lokasinya cukup jauh untuk dijangkau, biasanya memang saya menolak untuk meliput. Bukan sok jual mahal. Masalahnya, hampir semua orang yang mengundang menggunakan materi yang sama.

Jadi begini, biasanya tiap hotel, resto atau produk akan menyelenggarakan sebuah festival menyambut Ramadhan. Festival kuliner yang setiap tahunnya selalu sama. Timur Tengah.

Sudah dapat dipastikan kalau hidangan yang disajikan ya mirip-mirip. Meskipun terkadang ada juga yang mengambil tema Meksiko ataupun mengusung tema Pasar Rakyat. Awal-awal sih seru. Tapi kalau hampir tiap hari diundang ke sebuah acara yang bertema sama, lama kelamaan saya bosan juga. Malah cenderung ndak nafsu dengan hidangannya. Apalagi kalau lidah ini sudah mencicipi masakan, yang membuat priring saya tak pernah kosong semenit pun, alias enak di awal bulan Ramadhan. Itu bahaya! Karena biasanya tolak ukur lidah tanpa sadar akan membandingkan dengan hidangan tersebut. Dan biasanya hidangan di tempat lain jadi sangat biasa saja.

Kini, setelah dua tahun absen. Saya kangen. Boleh kan saya kangen? Tahun lalu, seorang kawan PR saya di sebuah hotel ternama masih tetap mengundang saya untuk melakukan jamuan berbuka. Tentunya di luar jadwal undangan media. Entahlah tahun ini. Terakhir kali saya bertegur sapa dengannya, saya tahu kalau dia sedang membenahi urusan hotel yang ada di Singapura dan Brazil.

Hmm..saya jadi rindu masakan Libanon. Rindu manisnya baklava yang terlampau jumawa. Rindu asam segarnya Lassi mangga dari India yang pernah saya cicipi di salah satu hotel bintang lima di Sudirman sana. Kangen kebangetan dengan sop buntut di salah satu sudut resto hotel yang ada di bilangan Kuningan. Yang selalu jadi pelarian ketika saya bosan mencicipi masakan Timur Tengah.

Rindu ikutan menari tarian sufi. Tarian dimana saya harus berputar.. berputar.. dan terus berputar dengan menggunakan rok kebesaran. Dan yang pasti saya rindu kawan-kawan saya. Kawan-kawan suka dan duka dalam mencari berita. Kawan bercerita di sela-sela tugas yang membabi buta. Kawan berkeluh sambil menikmati satu scope es krim di pinggir kolam di lantai lima apartmen di bilangan Thamrin sana.

Ah.. intinya saya rindu. Bukan pada apa yang pernah saya dapat tapi dengan siapa saya pernah menghabiskan banyak cerita.

I’m Happy Today

Senin ini manis. Senin ini indah. Senin ini satu rejeki dikirimkan oleh Tuhan melalui seorang kawan lama.

Sebuah pembicaraan sederhana, cela-celaan seperti biasa mengawali obrolan kami. Tiba-tiba dia mengajukan sebuah pertanyaan, “Apakah saya masih suka menulis?”. Dia juga bertanya, kapan saya berniat menerbitkan buku. Hmm.. pertanyaan yang itu saya belum bisa menjawab dengan pasti. Tapi saya bilang kalau saya sedang mengasuh satu blog yang berisi sketsa-sketsa kehidupan kaum urban.

Saya berikan dia tautan blog yang saya ceritakan. Tanpa diduga, dia menyukainya. Dia sangat kritis dalam menilai tulisan-tulisan saya. Kritis bukan sebagai seorang ahli dalam dunia tulis menulis. Tapi kritis sebagai seorang pembaca. Psstt.. dia adalah pembaca pertama saya sejak dulu. Semua tulisan-tulisan saya selalu dilahap habis olehnya. Meskipun itu hanya sebuah curhatan galau gaya abege jaman sekarang.

Dia menyukai tulisan-tulisan itu. Baik ide cerita, gaya dalam membawakannya, dan konflik sederhana yang ada. Lalu, dia bertanya apa rencana saya dengan alamat blog tersebut. Saya hanya  menjawab ingin menampilkan tulisan ini mingguan. Syukur-syukur ada penerbit yang ‘melirik’. Canda saya. Hehe..

Tiba-tiba…

“Lo udah beli domain buat celotehnona?”

Pertanyaannya mengingatkan saya akan rencana membeli domain yang sempat tertunda hingga sekarang.

Oke, Lo beli celotehnona aja. Nah, untuk blog  yang satunya lagi itu hadiah dari gue. Cek email, di sana ada konfirmasinya. Gue mau lo terus nulis, nggak cuma nulis curcol doang. Hahaha..”

Sial!

Jadi selama ini saya dianggap curcol doang? E tapi tunggu. Barusan dia bilang kasih hadiah untuk domain satu lagi? What? Is he joking? Huaaaaa.. he already bought me a domain for my project!

Ini rasanya mau teriak, nangis, ketawa, salto, pokoknya semuanya sekaligus deh. Mungkin kalau ada yang mendengar ini akan berkomentar, “Halah, cuman domain doang. Kan bisa beli sendiri.” Memang sih, gampang belinya, terjangkau pula. Tapi buat saya, hadiah ini jauh lebih bernilai.

Niat baiknya membelikan saya domain itu saya hargai sepenuh hati. Apalagi dia ingin sekali saya tetap semangat menulis. Ditambah kejutan disela obrolan kami yang kadang tidak pernah jelas juntrungannya. Wohoooo! Love his way to give me a lil surprise..

Sekali lagi, terima kasih untuk kawan ‘lutung’ saya yang sepertinya masih terjebak macet di jalan. You will always be my first reader, kangbro!

 

Kemang, 10 Juni 2013

Nonayangsedangsenangdanmasihjogetjogetriang

Obrolan Cangkir Kopi

“… kamu kayaknya perlu segelas kopi deh, Non. Blandongan?”

Kata-kata itu yang kerap kali dilontarkan olehnya kalau aku mulai mencurahkan emosi yang meluap-luap. Atau aku sedang ingin mengeluarkan secuil pemikiran yang mengganjal seharian.

Ia tak pernah menyambut emosiku dengan emosi lainnya. Ia justru akan meredam emosi ini dengan ajakan secangkir kopi dan obrolan panjang seharian. Aku tetiba teringat olehnya. Ia yang kini jauh berada di kota pelajar yang sedang melanjutkan studinya.

Aku jadi berpikir, apa yang menjadikan kopi begitu nikmat? Atau bagaimana obrolan begitu bersemangat dan mengalir dengan hangat dengan secangkir kopi?

Kalau banyak penikmat nikotin mengatakan kopi dan rokok adalah sahabat, buatku kopi dan sahabat adalah kawan karib yang melegenda. Bagaimana sebuah ide tercipta hanya karena obrolan warung kopi dan bagaimana masalah bisa terselesaikan hanya karena berbagi cerita dari satu cangkir kopi ke cangkir kopi lainnya.

Aku bukanlah pencinta kopi yang mengerti seluk beluk biji kopi hingga menjadi minuman lezat di pagi hari. Aku cukup menjadi penikmat kopi di mana saja, apapun bentuknya. Fresh atau siap saji, aku menikmatinya. Tak lupa seorang atau segerombolan kawan sebagai selingan saat menyesapnya.

Masih hangat dalam benakku, bagaimana perkenalan kami bermula. Secangkir kopi dan senja di sebuah kedai kopi di tengah sawah. Cerita bermula dari aku yang berkomentar tentang senja sore itu yang disambut oleh cerita tentangnya dan bagaimana ia mencintai kopi juga tembakau yang dihisapnya.

Tanpa terasa cerita demi cerita terangkai dengan manisnya dan selalu berakhir ketika senja nyaris tertelan gelapnya malam. Saat itu, aku menyudahi perjumpaan kami. Kucukupkan cerita sore itu dengan sebuah lambaian hangat sebelum kukayuh sepeda kumbangku dengan nada riang.

Begitu setiap hari. Setiap sore, kukayuh sepeda kumbang menuju kedai di tengah sawah. Di sana kutahu ia selalu menungguku dengan senyum dari bibir kehitaman dan nikotin yang terbakar di sela jemari kanan.

Dua cangkir kopi terseduh, menguarkan aroma harum yang memikat. Kusunggingkan senyum untuknya yang sudah bersabar menungguku. Sesapan pertama dan komentar tentang senja hari itu jadi pembuka. Dan menit-menit berikutnya mengalir begitu saja tentunya dengan cangkir kopi yang kembali terisi dari cangkir bergambar bunga mawar.

Aku, dia, dan cangkir-cangkir kopi merangkai cerita. Hanya dengan obrolan sederhana tentang rasa, tentang bagaimana hidup itu semestinya dimata kami, manusia. Tentang persahabatan dan juga cinta, yang terkadang jumlah duka tidak pernah seimbang dengan suka.

Tapi satu hal yang pasti, obrolan cangkir kopi ini akan terus mengalir meski kami tak lagi bisa menikmati cangkir-cangkir kopi di tengah sawah bersama senja. Meski kesibukan menenggelamkan rasa pada akhirnya. Mungkin ada waktunya nanti aku dan dirinya bisa menikmati kopi kami kembali sambil bernostalgia tentang senja, rasa, dan cinta sesama.

Dan soal kopi yang menjadi sahabat setia kala bercerita, aku masih bertanya-tanya. Kubiarkan ia tetap menjadi rahasia. Maka, nikmati saja!

cangkir kopi

 

Senin, 3 Deseber 2012
Lagi-lagi, tulisan ini saya temukan diantara file-file tulisan yang belum sempat ter-posting tahun lalu.
*foto dipinjam di sini

Aku dan Lelaki-Lelaki Itu

Sembilan bulan mungkin terbilang waktu yang singkat untuk ukuran jam terbang bekerja di satu perusahaan. Tapi itu waktu yang cukup untukku mengenal kawan-kawan seperjuanganku. Aku bekerja di salah satu perusahaan yang bergerak di dunia IT dan juga kartu pintar. Namun pekerjaanku berkaitan dengan dunia design dan juga promosi.

Sehari-hari aku bekerja bersama dengan lima orang lelaki. Muda dan enerjik. Ada saja kekonyolan yang mereka perbuat setiap harinya. Perdebatan pun tak jarang mampir di meja. Mulai dari hal-hal berbau pekerjaan hingga wanita. Dan jika menyangkut masalah ini, mereka lupa dengan rekan mungilnya ini. *pingsan*

Mereka berlima, punya pribadi yang sangat unik. Tidak ada satupun dari kami yang memiliki benang merah dalam segala hal. Mulai dari hal yang remeh temeh hingga selera musik. Teman-teman divisi lain kalau melawati cubicle kami itu selalu saja bilang tempat kami itu gudang lagu. Just say it, I’ll play for you!

Obrolan sederhana setiap pagi bisa jadi obrolan serius sepanjang hari. Mungkin kalau orang lain yang melihatnya kami semua ini kurang kerjaan, tapi justru ini pengikat kami semua. Terakhir, obrolan yang cukup penting kami bahas adalah seputar planet dan satelit. Awkward melihatnya, tapi jujur aku justru banyak tahu tentang hal baru karena mereka. Apapun itu!

kejutan di hari ulang tahun, 2012

kejutan di hari ulang tahun, 2012

Aku jarang terlibat perdebatan atau obrolan yang berat dengan mereka. Aku hanya sebagai pemerhati saja yang sesekali mengingatkan mereka untuk break, karena jam makan siang sudah terlewat setengah jam. Hmm.. kalau dipikir-pikir aku memang macam induk untuk mereka. Seperti layaknya Ibu untuk semua cerita anak-anaknya.

Dan yang aku tahu pasti, saat ini aku menikmatinya. Meski terkadang pusing juga melihat tingkah laku mereka yang sulit diterima nalar dan logika. Hahaha…

Kemang, 11 Maret 2013

Kematian itu Hanya Masalah Waktu

kak yogiDan pada akhirnya, sebuah kematian hanyalah masalah waktu.
mengantar jiwa-jiwa kesepian yang tengah diburu rindu
Kematian pun hanya perpisahan sementara sebelum kita semua mengahadapnya
mengusung duka bagi mereka yang ditinggal
adakah semesta punya rencana? Ah, tentu saja. Semua ini memang terencana.
maka, hadapilah dengan sebuah senyuman 🙂

 Langit tampak kelabu. Kilat memburu di kejauhan, mengantar gemuruh petir semakin dekat. Hujan mulai turun perlahan. Rintiknya tidak riang tapi tidak juga tergesa. Seolah sedang menikmati setiap tetes yang turun mencumbu bumi yang diam, dan tak luput membasahi setiap hati yang kini dirundung duka.

Satu persatu mereka berdatangan dari jauh. Wajah-wajah tak percaya, kaget sedemikian rupa, hingga sedih yang entah bagaimana lagi mengungkapkannya. Cemas kadang bergayut manja di salah satu wajah yang belum khatam kukenali sejak tadi. Rintik hujan mulai reda. Rangkaian bunga mulai ditata, sebagian orang lainnya tengah sibuk menyiapkan apa yang seharusnya ada mendampinginya.

Suara sirine meraung-raung membelah jalan raya. Memasuki area pemukiman yang kini tampak ramai disesaki manusia. Suara tangis mulai pecah menuai pilu, tubuh-tubuh lemas terkulai tak berdaya mulai bermunculan ketika jenazah mulai dikeluarkan.

Aku terpaku, membisu di sudut rumah tanpa bisa bergerak sedikitpun. Aku hanya bisa menatapnya dalam kebisuan dan tanpa sadar kalau air mata sudah menggenang dan siap membuncah berlarian. Aku masih tak percaya. Ia, kakak tersayang, pelatih tercinta sudah lebih dulu mendahului. Rasanya baru kemarin aku bersenda gurau dengannya perihal kematian. Iya, ia bergurau tentang kematian yang belakangan kuketahui artinya.

Ia kerap berjanji akan segera pulang dalam dua hari saja. Dua hari ia berjanji. Padaku dan jua mbok Komang. Dan kini, ia menepati janjinya, hanya sayang dalam kondisi yang berbeda.

Ida Bagus Putu Yogi. Seorang kakak, sahabat, orang tua, pelatih yang teramat aku dan juga kawan-kawan Paduan Suara Swara Darmagita sayangi. Ia telah memiliki posisi tersendiri dihati masing-masing kami, adik-adiknya.

Aku jarang berbicara dengannya, sesekali saja. Tapi aku tahu betul, obrolan kami selalu saja memiliki kesan yang sangat dalam. Setidaknya untukku. Aku ingat terakhir kali kulihat ia bersama dengan kawan-kawan Twilite Chorus sebelum keberangkatannya ke Australia untuk melakukan konser di sana. Aku, sebagai salah satu delegasi dari pihak media tak pernah menyangka akan bertemu dengan Om Bewok-sapaan ku untuknya- di tempat itu. Sesaat setelah gladi bersih, setelah melakukan wawancara dengan Om Adie.

Dia takjub. Aku menyadari ada rona bahagia ketika melihatku ada di sana, melihat aksi panggungnya secara langsung. Dan aku tahu dia sangat tulus kala mengucap rasa terima kasih karena aku berada di sana. Ah, haru itu kembali datang.

Aku masih juga ingat, malam tahun baru yang dihabiskan di rumahnya bersama kawan-kawan lainnya. Saat itu kondisi kesehatanku sedang menurun. Ia mengenalkanku kepada Biyang, Ibunda yang ia sayang. Cemas ia dengan kesehatanku yang menurun ia curahkan pada Biyang. Tanpa ragu ia meminta Biyang untuk melihat kondisi kesehatanku.

Malam pergantian tahun. Diisi dengan senda gurau dan celoteh riang seperti biasa. Tapi terselip juga sebuah cerita yang tertuang di ruang tengah rumahnya. Membuatku tercenung cukup lama dan menyelami apa yang ia sampaikan saat itu. Aku tidak pernah tahu apa yang ia maksud, tapi kata-katanya hanya aku simpan saja di sini. Diingatanku, hingga kini.

Aku juga masih sangat ingat, bagaimana ia menyadarkanku sesaat setelah kami semua turun panggung. Aku tidak sadarkan diri tiba-tiba. Sayup-sayup kudengar suaranya menyebutkan sebuah buku yang sangat kuincar sejak lama. Benar saja, saat kubuka mata kulihat wajahnya dengan senyum ceria seperti biasa menggenggam buku tersebut. Eldest, buku yang ia iming-imingi saat aku sadarkan diri. Ah, kalau ingat kejadian haru pasti datang padaku tiba-tiba.

Om Bewok, pribadi yang unik dan menarik, punya semangat yang tinggi, kawan cerita yang selalu menyenangkan, dan selalu ada memberikan semangat untuk aku, dan juga kawan-kawan lainnya. Aku tahu ia telah pergi untuk selamanya, tapi aku hanya merasakan kalau ia hanya pergi sementara. Seperti biasanya. Ia hanya pergi untuk membawa harum nama Indonesia melalui musik bersama dengan anggota Twilite lainnya. Itu saja.

Ia selalu ada bersama aku, bersama kami semua, keluarga besar paduan suara yang pernah mengenalnya. Selamat jalan kakakku tersayang, Ida Bagus Putu Yogi. Baik-baik selalu di sana, sampaikan pada Tuhan untuk senantiasa menjaga kami semua di sini, seperti Tuhan menjagamu dengan baik saat ini.

*Ida Bagus Putu Yogi meninggal pada tanggal 21 Oktober 2012 di RS Pasar Rebo. Upacara Ngaben dilakukan di Bali pada tanggal 1 November 2012.

Sedikit Pesan

Dear Mas Bro’ @herudiy

Sebelumnya, jangan bayangkan surat cinta ini penuh puja dan puji untukmu. Tolong jangan bayangkan! Dan biarkan istrimu turut membaca surat ini, mungkin sambil menikmati secangkir kopi dan juga teh hijau bersama. Entah dimana kalian ketika membaca surat ini nanti.

Aku ingin mengucapkan selamat atas pernikahan kalian. Seminggu berlalu tanpa terasa untukku, tapi kuyakin sangat terasa berbeda sensasinya untuk kalian. Hehe..

Sepertinya baru kemarin kalian berkenalan, berjalan-jalan bersama, dan  memutuskan untuk menjalin cerita cinta hingga pada akhirnya memutuskan untuk menikah. Sebuah dongeng nyata, dengan kalian sebagai tokoh utamanya. Dua bulan sebelum pernikahanmu, aku memekik kaget. Betapa cepat waktu berlalu, dan akhirnya hari besarmu akan segera tiba. Semua berlalu tidak terasa!

Umm.. aku hanya ingin sedikit berpesan padamu (maaf bukan maksud sok menjadi orang tua tentunya). Tolong jaga baik-baik sahabatku (aku tahu kamu mampu), jaga hatinya agar tidak terbentur dan membiru (aku tahu kau punya segudang warna untuk itu), dan hangatkan ia ketika dinginnya suasana membekukan hatinya. Ah, kurasa kau sudah khatam untuk urusan yang satu itu.

O ya, ingatkan ia untuk tidak menguliti jemarinya. Kecup saja ia jika masih saja melakukan hal yang sama, karena sepertinya menasehatinya tidak mempan kulakukan dulu kala.

Nah, tak banyak pesanku untukmu bukan? Selamat berbahagia untukmu, untuk ia, kalian berdua. Hujan di saat akad kemarin semoga pertanda hujan berkah di perjalanan pernikahan kalian kedepannya. Dan terakhir semoga kebahagiaan kalian makin melimpah dengan kehadiran si kecil nantinya. Semoga saja aku mendengar kabar bahagia itu segera.

Salam hangat,

Nona yang menyayangi kalian berdua!

Jakarta, 14 Januari 2013
Penerima surat ini adalah seorang kawan sekaligus suami dari sahabat saya. Namanya terlintas pertama kali saat ingin menulis surat. Sedangkan surat untuk istrinya, sudah terlebih dulu terposting di ‘rumah’ ini. Sila untuk dilihat di sini.

Sobat Aceh & Visit Aceh 2013

logo visit aceh 2013 from acehdesain

MSS 2013, saya mungkin harus berterima kasih padanya. Karena melaluinya, saya bisa ‘mengunjungi’ rumah kawan-kawan saya di ujung pulau Sumatera, Aceh. Aceh sudah mengakrabi telinga saya sejak kecil. Bukan karena saya tinggal dan besar di sana, tapi karena Ayah berasal dari bumi serambi Mekah itu.

Jujur, saya merindukan Aceh. Rindu dengan keluarga yang dulu ada di sana. Rindu dengan alamnya tentu saja. Delapan tahun sudah sejak terakhir kali saya mengunjungi Aceh, dan sekarang belum ada kesempatan untuk bertandang lagi ke sana. Mungkin karena sudah tidak ada keluarga yang bisa saya kunjungi lagi.

Kini, saya memiliki beberapa kawan di sana. Kawan-kawan yang saya temukan di kompetisi MSS 2013, Bang Citra, Bang Dicko, Asy, Kakak Piyoh 😀 dan lain-lain. Meskipun saat itu kami semua belum menjadi finalisnya, tapi kami sudah saling kunjung mengunjungi. Buat saya, itu sudah lebih dari cukup. Saling bertegur sapa meski lewat dunia maya dan saling menyemangati meski sedang berkompetisi.

Sampai akhirnya, satu yang saya sadari betul-betul. Saya merindukan Aceh jauh lebih dalam dari yang saya duga. Trauma adalah alasan saya dulu sekali tiap Om Agam mengajak saya sekadar main ke Aceh. Tapi sekarang keinginan saya kuat dan membuncah selayaknya rindu yang berloncatan riang.

Rekam gambar yang disajikan kawan-kawan di Aceh membuat keinginan saya semakin kuat untuk bisa segera berkunjung ke sana. Semoga tahun ini ada terselip kesempatan saya menyambanginya. Dan pastinya akan bertemu kawan-kawan yang selama ini hanya menyapa lewat jemari dan juga kata. Semoga.

Aceh yang mulai menggeliat lewat industri pariwisatanya, pasti akan semakin maju dan tak kalah dengan daerah lain di Nusantara, apabila digawangi pemuda-pemuda macam kawan-kawan saya tadi. Para pemuda yang mencintai negerinya sedemikian rupa dan mencoba mensukseskan Visit Aceh 2013 kali ini. Pada akhirnya, saya hanya bisa bersyukur sempat ‘dipertemukan’ dengan orang-orang hebat macam mereka. Para sobat Aceh. :’)

Bahagia

Kamu tahu apa itu bahagia? Ah, aku rasa kamu lebih tahu arti bahagia sejak lama ketimbang aku yang baru saja merasakannya. Hmm..aku sedang berbahagia. Bahagia sekali. Sebahagia prajurit langit yang tengah mengehntakkan kakinya di bumi. Iya, sebahagia mereka.

Bahagia yang sederhana, bukan saja karena aku bertemu kembali dengan hujan, yang membuatku senang akan sebuah hangat dekapan, tapi aku bahagia karena tahu banyak kabar dari penjuru negeri ini datang di istanaku sore tadi.

Meskipun tak melulu kabar baik, walaupun ada cerca terselip, namun tetap saja membuatku senang membaca dan membayangkan mereka ketika menuliskannya. Hehe..

Ini bermula ketika sebuah surat kulayangkan untuk Bule yang ada di Indonesia Timur sana. Ia yang saat itu tengah haus akan sebuah dorongan menulis kreatif, sengaja kukirimkan surat itu. Awalnya hanya sekedar pemuas rindu dan penyalur hobi saja, tapi lama kelamaan ini jadi sebuah ritual yang jadi candu untuk aku dan dia.

Suatu ketika, aku lupa membalas suratnya. Seminggu, dua minggu, hingga sebulan. Sampai akhirnya ia melayangkan surat rindu lainnya. Membuatku merasa bersalah karena belum sempat membalas suratnya yang kini lebih cocok menjadi sarang laba-laba ketimbang kertas bertuliskan aksara.

Lalu, apa yang ia lakukan? Ia ‘mencambukku’ dengan sebuah tulisan pengakuan. Sebuah tulisan yang aku bacakan kepada seseorang si suatu malam. Dan ternyata, orang tersebut membalas surat itu. Di dalam surat itu, Bule memang menantang kami, para pejuang bahasa di dusun yang letaknya ribuan kilometer dari Jakarta.

Satu persatu, kamipun saling membalas surat dan menceritakan kegiatan kami kini. Bahkan untuk kawan-kawan yang katanya tak bisa menulis akhirnya pun tergerak untuk menuliskan bentuk rindu mereka. Mencoba merangkai aksara yang dulunya enggan direngkuh meski waktu berserakan tidak tersentuh. Kini, kesibukan datang merayap tapi memilin kata berusaha didekap.

Tak pernah terbayangkan kalau kami sebenarnya terpisah di penjuru negeri ini. Berbeda tanah yang di pijak, berbeda zona waktu, dan berbeda kesibukan. Hanya satu yang aku dan kawan-kawan lain tahu, bahwa rasa yang kami miliki masihlah sama. Rasa memiliki yang tak akan hilang meskipun jarak dan kesibukan menenggelamkan kami sedemikian rupa.

Kini, aku mencoba menyatukan semua rasa dalam cangkir kenangan yang akan selalu terisi kerinduan. Dan aku menyebut satu persatu kami ini sebagai penikmat secangkir rindu selain cangkir cangkir kopi yang telah tersesap dan pergi.

Dan aku bahagia karenanya. Bahagia karena tahu, kemana rindu akan selalu bermuara dan akan terobati sesudahnya. Bahagia karena ternyata kata-kata bisa mengubah seseorang jadi luar biasa. Dan menginspirasi mereka untuk terus berkarya seperti mereka yang telah menginspirasiku begitu rupa. Dan lagi-lagi, Bahagia Itu Sederhana bentuknya.

karena-bahagia-itu-sederhana

Jakarta, 14 Desember 2012

*ingin menikmati kumpulan rindu kami? kunjungi cangkir rindu kami dan sesap perlahan hingga rindu terobati dan pergi.

Foto dipinjam di sini

Secangkir Rindu untuk Sahabat

secangkir rindu tersaji di meja aksara untuk siapa saja yang ingin melepas dahaga akan cinta

secangkir rindu tersaji di meja aksara untuk siapa saja yang ingin melepas dahaga akan cinta

Entah ini kali keberapa aku membaca tulisan kawan cungkring nan tampan layaknya manusia imigran dari tanah nya para londo. Hehe.. Rio namanya. Kesibukan menenggelamkanku sehingga urung berkali-kali membalas suratnya beberapa waktu lalu.

Semalam, seseorang memintaku membacakan surat milik Rio. Tentu dengan gaya membacaku, yang menurutnya bisa jadi pengantar tidur paling ampuh. Hmm.. tampaknya aku harus mulai memikirkan tarif membaca jika ada yang perlu lullaby sebelum tidur nih. Hehe

Setelah membaca lagi dan lagi, ada rasa hangat yang asing hinggap di hati. Entah apa itu namanya. Rindukah? Mungkin saja. Karena ada senyuman yang tersungging tiap kali ibu jariku beradu dengan benda mungil berlayar sentuh ini ketika aku dan dia bertukar kabar. Ketika ia mulai mengeluhkan semua resahnya karena sulit menelurkan pikiran dalam sebuah tulisan.

Setelah selesai berbincang-bincang si Coach yang kerap kali dipanggil Kuch ketimbang Coach, aku  jadi tergelitik untuk membuka catatan pribadiku selama berperjalanan ke desa kecil di belahan timur pulau Jawa. Di salah satu desa dimana aku mulai kembali menata kehidupanku, menata kembali peta yang pernah robek beberapa waktu lalu dan mulai kembali menghadapi hidupku seperti sedia kala.

Aku tidak akan menceritakan apa yang aku kerjakan di sana, bagaimana kehidupanku di sana atau bagaimana akhirnya aku terdampar di desa kecil namun mulai menggeliat menjadi sebuah desa ‘modern’ dengan caranya.

Aku hanya ingin sedikit bernostalgia dengan mengenang celoteh ngelantur yang pernah aku lakukan dengan beberapa kawan selama di sana. Ya, kawan-kawan tunggu.,. mereka saudara buatku. Saudara yang aku miliki meskipun hanya beberapa waktu kami habiskan bersama.

Aku masih ingat betul kali pertama bagaimana akhirnya aku bisa ‘masuk’ dalam lingkaran pertemanan mereka. Secangkir kopi. Ya, secangkir kopi menyatukan obrolan kami yang awalnya kaku menjadi seperti aliran air dari hulu sungai menuju hilir hingga laut lepas.

***

Sore itu, setelah berkeliling desa dengan menggunakan sepeda kumbang, aku menyempatkan diri mampir di sebuah kedai kopi sederhana yang memang sering aku singgahi sendirian. Entah itu sekedar membaca buku, memesan ketan susu, atau memesan secangkir kopi. Ketika sedang asyik berjibaku dengan buku, ternyata ada segerombolan anak dari asrama lain datang. Aku mengenal mereka.

Sungkan awalnya mengajak mereka untuk duduk satu bangku dan bertukar cerita dalam satu kali sesapan kopi. Tapi, akhirnya salah satu mereka bisa duduk dan mulai membagi ceritanya. Ada hal yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Namun yang pasti persahabatanku dimulai di sana. Di kedai ketan tercinta.

Hari demi hari berganti, cangkir demi cangkir kopi telah terisi. Ditemani ketan susu ataupun ketan bubuk atau sebatang tembakau yang disulut bergantian oleh mereka yang sering aku protes karena aromanya. Cerita pun mengalir tidak hanya membahas problematika negara tapi juga keluarga hingga cinta.

Kini, kami semua sudah terpisah di berbagai kota di seluruh Indonesia. Selalu saja ada rindu yang menggayut manja, minta untuk ditimang dan dibuka kembali. Entah siapa saja yang mulai menyulutnya.

Banyak pelajaran hidup yang aku dapat dari mereka. Belajar melihat kembali manusia dari sudut pandang yang berbeda. Melihat suatu hubungan bukan hanya sekedar memberi dan menerima. Dan makin meyakinkanku bahwa berbagi itu membuat hidup jauh lebih bahagia.

Dan kini, cerita kembali dirajut dengan mesra meski medianya tidak lagi sama. Bukan lagi kopi dan ketan susu atau sepeda ceria yang mengawali cerita, tapi sebentuk kerinduan yang membuncah yang selalu jadi alasan utama  untuk kami memilin romansa.

Meskipun ekspresi tak pernah terlihat lagi sama, tapi nada bicara masih kudengar sama di udara. Dan kini aku memulainya dengan celotehan sederhana dalam media aksara yang kurangkai untuk menebus rindu akan kamu, dia, mereka, dan kebersamaan kita. Selamat merindu dan bercumbu dengan aksara, kita! Cangkir rindu ini untuk kita habiskan bersama dalam tawa bahagia.

Jakarta, 6 November 2012

*tulisan ini merupakan balasan surat dari Rio, sahabat bule saya 🙂

*foto diambil di sini