Doa Sederhana

Di luar, titik-titik hujan mulai mereda. Kurapatkan sweater hijau pupusku dan menyilangkan tangan mencari setitik hangat di sela-sela ketiak. Dia masih berceloteh tentang harinya. Bagaimana ia melewati hari ini hanya di depan leptop kesayangannya.

Ia juga bertutur tentang bagaimana sesiangan tukang pompa air begitu ributnya hingga membuat ia tak bisa memejamkan mata. Ia, pria yang ada di hadapanku kini, yang tak pernah berhenti membuatku tersenyum, takjub, dan bersyukur.

Tanpa pernah ia sadari, aku banyak belajar hidup darinya. Aku belajar menganal cinta karenanya. Ia, lelaki yang menyengajakan diri datang ke ibu kota demi menjemput cintanya. Ia yang tak pernah akrab dengan  riuhnya kota dan padatnya kopaja memilih berdamai dengan itu semua demi satu cinta.

Malam semakin larut. Butir-butir hujan mulai berjejalan tergesa menyapa makhluk bumi kembali. Ia menatapku, menarik tanganku yang masih mencoba mencari hangat dari balik sweater tipis yang ternyata tak bisa menghalau dinginnya malam.

Ia menggosok-gosokkan telapak tanganku diantara telapak tangannya. Mencoba menghangatkan telapakku yang mulai memucat.Ada getar yang menelusup riang di tubuhku. Ada sesuatu yang bergejolak di dalam perutku. Dan ada getar irama yang mengalun di dalam hatiku.

Ia masih bercerita, kali ini tentang cerita wayang yang memang kusuka. Ia menceritakan sisi lain seorang Rahwana, musuh dari Rama yang sangat kejam namun begitu romantis terhadap Dewi Shinta. Jika membangun taman asoka menjadi sangat romantis, buatku apa yang ia lakukan baru saja sudah sangat romantis. Sederhana, tapi ini yang kadang terlupa.

Seperti ada hukum alam yang mengaitkan lengkung senyum di bibirku saat melihat matanya yang membulat, mengerjap, ketika menceritakan tentang apa yang sedang dilakoninya. Ia selalu membuatku menyunggingkan senyum hanya dengan melihatnya bercerita.

Ada doa yang terangkai perlahan saat melihat wajahnya. Doa sederhana yang kupinta kepada Tuhan agar mengijinkanku sakinah bersamanya. Menjadi ­pendamping lelaki di hadapanku. Menjadi bagian dalam cerita hidupnya dan membaginya di suatu sore bersama buah hati kami nantinya. Semoga Tuhan mengabulkannya.

Dan malam ini aku hanya perlu menikmati kebersamaan kami berdua dalam rinai hujan yang mengalun perlahan dan menghilang di tengah gelapnya malam.

12 April 2013 ; 21.13

Cerita Tentang Russel

Ini adalah minggu pertama aku mengajar di sekolah ini. Sekolah bertaraf internasional yang terletak di bilangan Jakarta Barat. Tegang? Ah, tentu saja. Kali ini aku bukan menghadapi wajah-wajah mahasiswa tengil dan tukang gombal seperti tahun lalu. Sekarang yang kuhadapi adalah wajah-wajah lugu yang masih gemar minum susu.

Wajah-wajah polos yang masih sering ngompol di celana dan memberikan makan siang nya hanya karena ia tak suka bentuk potongan sayurnya. Ya, aku mulai mengajar anak-anak yang masih duduk di kelas satu sekolah dasar. Tertantang? Ah, tentu saja!

Mengajar mereka justru lebih menantang jika dibandingkan harus menghadapi muka genit mahasiswa tingkat akhir yang kutemui hampir setiap hari.

Cerita seru selalu saja terpilin. Ada saja celotehan mereka yang membuat perutku sakit. Tak sedikit pula tingkah laku mereka yang kadang membuatku gemas namun harus kutahan rasa inginku untuk mencubit pipi gempal kemerahan itu. Kadang, aku tak tahan untuk melayangkan pelukan untuk murid-murid gempalku yang tak bisa duduk diam di bangkunya. Kalau sudah begini, mereka akan memelukku lebih erat dan mengatakan “I love you, Miss Tya”. Ah, manis!

Di kelas, ada seorang anak yang sudah mencuri perhatianku sejak pertama. Aku selalu memanggilnya Russel. Ya, karena ia mirip sekali dengan Russel si anak anggota pramuka yang ada di film UP. Gempal dan menggemaskan!

Siang ini pelajaran Bahasa Indonesia. Murid-murid di kelas kuberi tugas untuk latihan menulis selagi aku memeriksa hasil pekerjaan mereka yang lain. Disaat anak-anak yang lain asyik dengan buku dan pensil mereka, Russel justru sibuk sendiri dengan pensilnya.

Kuperhatikan ia dari tempatku yang hanya berjarak lima jengkal. Oh ya, Russel tidak pernah suka duduk di belakang. Padahal tubuhnya sering menghalangi pandangan Sean yang tubuhnya jauh lebih kecil, setengah dari tubuh Russel. Kalau sudah begini, aku harus mendamaikan mereka dengan membuat bangku sejajar dua agar mereka bisa berada di barisan depan.

Balik lagi, Russel sibuk memainkan pensil Mickey Mousenya. Setiap ia mulai menulis ia menjatuhkan pensilnya. Diambilnya pensil itu dan kembali menulis selang beberapa saat pensil itu dijatuhkannya lagi. Aku yang sejak tadi memperhatikannya jadi gerah juga. Kutegur ia.

“Russel, kalau kamu main-main terus dengan pensilmu, tugas yang Miss.Tya kasih nggak akan selesai ,” tegurku.

“Ini susah, Miss,” jawabnya tanpa mau melihat mataku langsung.

“Apanya yang susah? Kan sudah dikasih contoh tadi,” nadaku sedikit meninggi.

Ia hanya tertunduk. Memaju mundurkan pensil yang tergeletak di atas buku tulisnya. Wajahnya sulit kutebak apakah ia memang sedang memberontak dari perintahku tadi atau ia menyesal.

Tiba-tiba..

“Aku ngga bisa pakai ini, Miss,” wajahnya melihatku dengan memelas sambil menunjuk pensil yang masih dimain-mainkannya.

Aku yang bingung dengan jawabannya hanya bisa bertanya “kenapa?” sambil menunggu rangkaian jawabannya yang lain.

“Pensil ini nggak bisa aku pegang, Miss. Pasti terlepas terus,” tuturnya sambil memperlihatkan jari-jarinya yang pendek dan gempal.

Kontan saja saat itu juga tawaku ingin meledak tapi segera kutahan dengan sekuat tenaga. Jari-jari Russel yang gemuk-gemuk itu tidak bisa memegang pensil dengan benar, sehingga pensil itu selalu tergelincir dari tangannya. Mukanya yang sedih, membuatku menahan tawa segera.

“Yasudah, kamu nulisnya pelan-pelan aja ya. Biar pensil kamu nggak jatuh lagi,” hiburku yang akhirnya membuat ia kembali tersenyum dan semangat untuk menulis lagi.

***

Pekerjaanku memeriksa tugas-tugas ini hampir selesai ketika Russel mencoba mengganggu Sean yang membuat si kecil itu berteriak nyaring dan melengking. Aku menyerah kalau Sean sudah mulai berteriak-teriak. Pusing!

Aku mencoba melerainya.

“Hei..hei.. kalian kenapa ribut-ribut? “ tanyaku sambil menengahi mereka yang mencoba saling pukul.

“Itu tuh Russel Miss, masa aku disuruh-suruh terus dari tadi. Tugasku belum selesaaaaaaiiii,” teriak Sean yang nyaris menyaingi Mariah Carey dengan nada falsetonya.

Russel yang memang tahu ia bersalah, hanya  menunduk sambil memainkan ujung rompi bajunya.

“Russel, kamu minta apa sama Sean sampai Sean marah?” tanyaku pelan-pelan. Russel hanya diam. Matanya tak berani melihatku ia hanya menunduk dalam-dalam sambil terus memainkan ujung bajunya. Sedangkan Sean yang sudah mulai tenang kembali asyik dengan buku dan pensilnya. Syukurlah!

“Russel.. Miss Tya tanya sama kamu lho..” aku coba bertanya lagi padanya.

“Aku Cuma minta tolong ambilkan pensil ku yang jatuh di lantai doang kok Miss,”jawabnya sambil menunjuk pensil yang terjatuh di lantai.

“Kenapa kamu nggak ambil sendiri?” tanyaku lagi.

“Nggak bisa!” sanggahnya dingin. Ah, anak ini sedang berulah lagi rupanya. Aku mulai memaksa ia untuk mengambil pensil yang jatuh. Dan ia tetap menolak.

“AKU NGGAK BISA, MISS!” teriaknya kepadaku. Aku mulai sedikit memaksa ia untuk mengambilnya dengan sedikit memberikan pandangan tajam ke arahnya.

Dengan berat hati ia mulai mencoba meraih pensil itu. Tapi tidak bisa. Tangannya tak sanggup menggapai pensil itu.

“Russel, kalau kamu ngambilnya begitu pasi susah, coba jongkok dan ambil,” kataku sambil terus memperhatikan apa yang dikerjakannya.

“Uh..uh.. sulit Miss!”

AStaga! Sial! Aku baru menyadari satu hal. Russel tidak bisa jongkok! Paha dan betis yang gempal agaknya menyulitkan ia untuk melakukan itu terlebih perutnya yang tambun makin mempersulit ruang geraknya.

Tapi demi Tuhan, di luar rasa kasihanku melihatnya yang bersusah payah mencoba mengambil pensil itu aku tertawa melihat pemandangan lucu di hadapanku. Tapi aku urungkan niat menolongnya. Ia harus belajar untuk berusaha mengambil apa yang ia memang inginkan dan perlukan.

Ada rasa inginku untuk memberi tahunya untuk mencari cara lain, tapi ia tetap berusaha jongkok untuk mengambil pensil itu. Peluh sudah mulai membanjiri sekujur tubuhnya. Wajahnya merah padam menahan sesak saat ia mulai jongkok. Tapi tiba-tiba ia berdiri. Dan men gembangkan senyum lebar. Aku heran dengan sikapnya.

Lalu dalam hitungan detik ia duduk dan tengkurap untuk bisa menjangkau pensil yang ada di bawah mejanya. Ah, Russelku pintar! Aku menahan tawa melihat gaya nya yang lucu saat mencoba menggapai pensil itu. Tapi akujuga terharu dengan usahanya.

Satu masalah selesai,  masalah lainnya muncul. Ia tak bisa berdiri! Haha.. Akhirnya aku tak tega, dan memutuskan untuk membantunya. Kulihat bajunya sudah basah dengan peluh lengkap dengan debu yang menempel akibat aksinya tadi.

Aku langsung menghamburkan pelukan untuknya yang langsung disambut dengan sebuah pertanyaan yang tak akan aku lupa hingga sekarang.

“Miss Tya udah nggak marah lagi kan?”

“Ngga dong. Kamu kan pinter!” jawabku sambil mengusap kepalanya.

“Horeeee!! Aku takut liat Miss. Tya tadi, matanya kayak mau copot! Kayak Mad-Eye Moody di Harry Potter!” tuturnya riang sambil memamerkan deret gigi yang tak lagi utuh karena cokelat dan permen.

Aaaaakkk!!! Anak ini! Aku makin menghujaninya dengan pelukan erat sambil mencubit-cubit pipi gemuknya tanpa peduli ia yang berontak ingin kabur dariku.

Kemang, 4 Maret 2013

Kenapa Menulis

Kenapa menulis? Pertanyaannya sederhana, tapi kadang saya bingung menjelaskannya. Alasan saya mungkin sama dengan sebagian besar orang pada umumnya. Tapi, ada beberapa alasan yang paling mendasari alasan saya memilih untuk menulis. Ini dia beberapa poinnya:

1. Lost Short Term Memory. Saya memiliki masalah dengan ingatan. Sejak sakit di masa sekolah dulu, ada beberapa hal yang mengganggu syaraf memori saya. Apapun yang saya bicarakan, pikirkan, bisa hilang begitu saja. Bahkan untuk kata-kata yang sudah ada di kepala.

2. Remembering Moments. Saya suka mengingat momen, bahkan untuk obrolan paling absurd yang saya lakukan dengan kawan. Setidaknya ada hal yang menurut saya bisa dipelajari atau mungkin sekadar mengingat kejadian itu. It’s priceless!

3. Perkaya Rasa. Dengan menulis, saya mencoba memperkaya rasa. Rasa apapun yang ada di hati, saya coba tuangkan ke dalam bentuk tulisan. Dengan begitu saya masih bisa peka dengan lingkungan sekitar, dan masih bisa bersosialisasi dengan manusia lainnya.

4. Menyembuhkan. Yang ini kok kesannya saya gila ya? Hehe. Jadi begini, saya selalu punya makhluk kecil di kepala yang selalu berbicara banyak hal dan berkomunikasi dengan hati dan batin saya. Dan pada akhirnya obrolan saya selalu tumpah ruah dan saya harus menuangkannya dalam tulisan. Jika tidak dilakukan, saya bisa uring-uringan. Menulis jadi salah satu ‘obat’ nya.

5. Penyaluran Emosi. Saya tipe anak yang ekspresif cenderung moody. Saat ini bisa sangat senang dalam hitungan detik bisa sedih dan seketika bisa kembali ceria. Ada emosi yang meluap-luap di hati saya saat melihat kejadian apapun itu. Biasanya saya tidak mau menyimpannya terlalu lama di hati, jadi saya tuangkan untuk bisa dibuka kembali di suatu sore nanti.

Ketika tulisan yang saya buat itu dibaca dan dikomentari orang lain, ada rasa senang yang tidak bisa saya deskripsikan. Bentuk apresiasi sederhana walaupun kecil kelihatannya, tapi punya imbas yang cukup besar. Buat saya pribadi, komentar apapun bisa jadi picu untuk terus menulis. Tidak pernah puas hanya dengan satu tulisan saja. Menulis itu candu! Hehe..

Saya masih ingat komentar Hilda, kawan saya, beberapa tahun lalu. “Ka, kenapa nggak coba nulis novel?” ucapannya kala itu membuat saya berpikir. Tulisan saya masih sangat jauh dari kata layak untuk diterbitkan dan masih belum konsisten. Jadi, untuk langkah awal saya mencoba mencambuk diri saya dengan mencoba konsisten menulis. Salah satunya melalui blog ini.

Genre tulisan saya juga masih belum terlihat. Awal-awal menulis saya sering menulis jurnal dan kejadian yang saya alami di jalanan (dulu saya sering berada di jalan). Menurut Isal, kawan monyet saya, tulisan-tulisan saya cenderung komedi. Dia selalu menagih tulisan lucu saya lainnya. Tapi ternyata itu sementara. Semakin kesini saya jarang menulis itu. Apa mungkin selera humor saya menurun ya? Hmm…

Sempat vakum menulis cukup lama, lebih dari setahun. Ada sedih yang tak bisa dibendung ketika ada seseorang yang menantikan tulisan kita, tapi saat itu kita tidak bisa berbuat apa-apa. Kesibukan menjadi alasan utama.

Terakhir adalah Jonathan, kawan saya di Surabaya. “Kamu gak perlu jadi orang lain, jadi aja diri kamu sendiri. Gak  perlu jadi Dee idola kamu itu, dan gak perlu jadi Atre juga yang kamu sukai gaya penulisannya. Kamu ya kamu, dan buat saya kamu itu kayak Hilman yang terjebak dalam tubuh Dee *please jangan bayangin* dengan unik yang kamu punya sendiri. Setidaknya itu buat aku pribadi.”

Haha entah itu pujian atau cercaan, tapi saya cukup terhibur dengan kata-katanya.

Intinya, saya menulis ingin memuaskan hati saya terlebih dahulu. Sukur-sukur kalau ada yang baca sampai akhirnya ninggalin jejak.. hihi.. Diseriusin sampai jadi buku? Itu mungkin impian saya selanjutnya, tapi tentu tidak semudah itu. Saya masih harus terus berlatih. Dan kritikan, adalah salah satu cara untuk tahu sejauh mana pembaca menyukai tulisan ini.  Hohoho… semangat! 😀

 

Jakarta, 11 Oktober 2012
*tulisan ini saya temukan saat sedang merapikan file-file tulisan yang berceceran. Ternyata saya pernah menulis ini tahun lalu. Hehe.. semoga jadi cambuk semangat saya hari ini dan seterusnya dalam menulis. 🙂

Pukul Dua Dini Hari

“Bangun! Ini sudah waktunya!”

“Memang sudah jam berapa sekarang?”

“Dua dini hari. Waktunya kita bergerak!”

Mereka mulai mengendap-endap ke ruang tengah. Beradaptasi dengan remangnya malam dan berusaha agar tidak membangunkan si empunya rumah.

BRUK!

“Hush! Hati-hati! Kau tidak mau membangunkan seisi rumah, kan?”

Sebuah vas keramik besar ditubruk rekannya yang berbadan lebih besar hingga nyaris membuat vas bergeser dan jatuh. Namun kini ia mulai berjalan kembali, berusaha lebih berhati-hati. Tak ingin membangunkan pemilik rumah, pun tak ingin ‘dikeramasi’ rekannya lebih lama.

“Itu dia sasaran kita!”

Bergegas mereka menuju almari incaran sejak lama. Di dalam almari itu tersimpan harta berharga yang sudah mereka incar berminggu-minggu lamanya.

“Hei ambil seperlunya, jangan rakus!”

Seperti tak mengindahkan pesan temannya, ia mulai memakan semua makanan yang ada di almari. Ia melahap semua makanan seperti tak pernah melihat makanan seumur hidupnya saja.

“Jangan RAKUS! Banyak perang…”

CTAAR!

“Dasar kau bodoh! Lihat hasil perbuatanmu itu!”

Si tikus pemarah langsung meninggalkan si tikus gembul yang mencicit meminta pertolongan karena terperangkap jebakan tikus yang dipasang oleh si pemilik rumah.

Depok, 13 Januari 2013
#13HariNgeblogFF Hari ke-2

Pengakuan Vanilla

Malam kian larut, jarum jam sudah tergelincir terlalu lama dari pukul 12 tengah malam, tapi sepertinya kantuk enggan singgah di pelupuk mata Vanilla. Ia terlalu gelisah sehingga membuatnya sulit memejamkan mata apalagi untuk mulai merajut mimpi.

Perasaannya kacau. Entah sejak kapan perasaan itu mulai menghinggapi dirinya. Membuatnya sulit tidur meski kadang tubuh sudah menjerit karena letih seharian berkubang dengan jalanan Jakarta yang kian menggila tiap harinya.

Tetiba, ia bangkit dari tempat tidurnya. Berjalan mendekati meja kerja yang masih berserakan dengan kertas-kertas laporan yang seharusnya ia kerjakan untuk diajukan esok pagi. Tapi gelisah justru lebih asyik menggayut manja ketimbang semangat membereskan kertas-kertas penuh angka.

Perlahan ia menyalakan laptop miliknya yang sejak tadi hanya menampilkan layar hitam, sehitam lingkaran matanya akibat kurang tidur sejak beberapa hari belakangan. Ia mulai membuka halaman surat elektronik dan mencoba mengetikkan sesuatu di sana. Sebuah nama penerima yang ternyata sumber segala resah yang ia miliki sejak beberapa hari terakhir.

Galan Prabu.

Seseorang yang telah mengisi hari-harinya setahun terakhir. Seorang pria yang ia kenal dari sekumpulan kebetulan dan ketidaksengajaan. Seseorang yang sudah menanamkan sebuah bibit di hatinya tanpa pernah ia sadari sampai akhirnya bibit itu tumbuh dan bermekaran begitu cepatnya.

Berkali-kali Vanilla mencoba mengetikkan sesuatu, tapi yang ada hanya sebuah kata yang selalu dihapusnya. Ia sadar betul apa yang tengah dirasakan tapi ia terlalu bingung bagaimana menuangkannya.

“Aaarrgggh…”

Ia kesal sendiri, dan seperti hendak menyerah, ia tertunduk lesu, menenggelamkan kepalanya untuk bertumpu di kedua lengannya.

“Why God.. why? Why me?” ujarnya setengah terisak.

***

Galan Prabu, lelaki yang ia kenal tanpa sengaja di sebuah acara. Kala itu Galan mengira Vanilla adalah kawan kecilnya yang sudah terpisah sangat lama. Tapi ternyata Galan salah. Dari situ obrolan demi obrolan mengalir, bertukar nomor telepon dan berjanji untuk bertemu lagi.

Sehari dua hari, tidak ada satupun pesan masuk untuknya. Vanilla enggan untuk mengirimkan pesan lebih dulu, ia merasa perkenalan dan pertukaran nomor itu hanya sekadar basa basi lelaki pada umumnya. Sampai suatu hari ia sedang berada di sebuah toko buku bekas di kawasan Blok M. Saat ia tengah asyik berkubang dalam lautan buku-buku dengan peluh yang sudah membanjiri sekujur tubuhnya, tiba-tiba saja sebuah tepukan halus di pundak menghentikan aktivitas ‘menyelam’ di lautan buku.

“Cari apa di sini Van?”

Vanilla terkesiap dan langsung menoleh ke arah sumber suara. Betapa terkejutnya ia menemukan seseorang yang ia hapal betul wajahnya karena sebuah perkenalan beberapa waktu lalu.

“Galan? Kamu, ngapain ada di sini? Sama siapa?”

“Hahaha..udah kayak polisi nanyanya beruntun gitu. Aku lagi cari buku buat tugas, nih. Kamu ngapain di sini? Heboh banget mblusuk-nya,” jawabnya.

“Hahahahaha.. kamu ngerti mblusuk juga? Aku lagi cari buku cerita anak-anak sekalian cari novel Lupus, tapi yang bekas-bekas aja,” jawab Vanilla singkat, masih dengan raut wajah kaget.

Pertemuan tanpa sengaja kedua kalinya membawa mereka duduk di sebuah warung gudeg milik Bu Gendut yang letaknya tak jauh dari lokasi mereka saat itu. Lalu kembali obrolan demi obrolan mengalir tanpa terasa. Seperti takut jika waktu kembali hilang dan harus menyudahi cerita sampai situ jika terselip jeda sedetik saja.

“O ya, Van, boleh minta nomor kamu lagi ngga? Hp aku ilang sepulang acara waktu itu, makanya ngga bisa hubungin kamu. Untung kita ketemu di sini.”

Kata-kata Galan barusan mematahkan dugaan Vanilla. Ada perasaan lega, senang, menelusup diam-diam dalam hatinya.

Pertemuan demi pertemuan mereka lakukan. Tidak hanya mencari buku, hunting dvd, nonton di bioskop, bahkan sekedar untuk cari roti bakar tengah malam, sering mereka lakukan.

***

Satu persatu kenangan akan Galan membuat Vanilla semakin sedih. Ia semakin tenggelam dalam isak tangis yang sepertinya sudah tertahan sekian lama. Telepon genggam yang sejak tadi hanya berdiam di salah satu sudut mejanya ia sambar dan dengan tergesa ia mencoba mengetikkan sesuatu. Lagi-lagi ia mengapusnya.

Waktu sudah beranjak pagi meski ayam jantan belum berkokok menandakan malam akan segera terganti.

Ia terdiam. Memandangi sebuah tulisan yang berada di halaman pertama sebuah buku. Buku pemberian Galan yang masih bersampul manis dan selalu dibukanya ketika ia merasa sedang butuh kekuatan. Kekuatan dan dukungan seorang yang memang mengerti akan dirinya.

Kini, ia lebih tenang. Ia mulai menyalakan kembali laptop yang sejak tadi hanya memandang dalam kebisuan.

To : prabugalansatria@gmail.com
From: anandavanilla@ymail.com
Subject: Umm..my little confession

Dear Galan,

Hmmm..sebelumnya aku minta maaf mengganggu waktu tidurmu. Ya meski aku tahu, sesaat lagi kamu pasti sudah bersiap membuat laporan padaNya. Aku sedikit bingung sebenernya harus mulai dari mana. Mungkin kamu agak bertanya-tanya saat membaca subjek dari emailku ini. Tapi bukan maksud hati membuat kamu bingung, ini hanya cara ku mencoba memberitahukan sesuatu. *iya iya, aku sok misterius*

Ummm..hal ini bermula sejak beberapa bulan lalu. Dan mungkin kamu sudah tahu. *jika kamu cenayang sih* Entah karena apa atau sebab bagaimana, ternyata kehadiranmu punya arti tersendiri (setidaknya ini yang aku rasakan). Sikap dan perhatianmu selama ini membuat aku nyaman. Bahkan sangat nyaman, meskipun akhir-akhir ini jarang sekali aku rasakan.

Hmm..mungkin ini cuma perasaanku saja. Tapi ternyata makin lama rasa ini makin besar dan aku tak tahu bagaimana cara untuk menghilangkannya. Bahkan terkadang, rasa ini menyiksaku 😦

Aku tak pernah punya keberanian untuk bilang sama kamu. Sampai akhirnya sekarang aku memberanikan diri menulis ini semua.(dengan konsekuensi mungkin kamu bakalan ilfil, ngga bakalan mau ketemu aku atau bahkan ngga mau kenal sama aku lagi kali yah?!)

Hehe..aneh yah?! Aku berusaha menetralkan semuanya dan kembali seperti sedia kala (seperti diawal aku mengenalmu tanpa sengaja). Tapi semakin aku berusaha untuk membunuh semua perasaan yang ada ternyata justru semakin mengikat aku terlalu kuat sampai terkadang membuatku sulit untuk berpikir  jernih.

Gal, aku tak mau membebanimu dengan apa yang baru saja aku utarakan. Ini semua cuma sebuah pengakuan ‘kecil’ ku yang kurasa cukup bisa membuat aku kembali ‘normal’ (semoga). Dan semoga ini adalah hal tergila pertama dan terakhir yang pernah aku lakukan.

Thank you banget sudah mau menyempatkan diri membaca email ini. Hmm.. meski aku ngga tau reaksi kamu. Tak mengapa, yang penting aku sedikit lega dan menurutku kita tak akan pernah tau apa yang akan terjadi besok.

Dan aku tak mau kehilangan kesempatan untuk mengatakannya, sebelum akhirnya menyesal karena tak pernah mengungkapkannya. Tapi tenang, aku tak meminta apa-apa darimu. I just want you to know, thats all! 

Dan sekarang aku lega.. ^^ Toh, kalau kita tak punya kesempatan buat ketemu lagi, aku sudah mengakui sebuah kejujuran dan tidak pernah menyesal karena melewatkan ini. 😉 O ya, terima kasih banyak atas semua sikap baik kamu selama ini. Maaf, kalau mungkin aku terlalu GR atas sikap manismu.

Hmm..baiklah, sepertinya sudah terlalu banyak yang aku katakan disini. Dan aku tak mau mengganggu mu lebih lama lagi. Have a nice day, and until we meet again, you! 

With love,

Vanilla

Dan akhirnya, selesai. Sebuah surat elektronik yang ia buat telah selesai tepat ketika adzan subuh telah berkumandang. Tapi ada sedikit keraguan saat akan menekan tombol kirim di sudut kiri atas. Haruska ia mengirimkannya atau hanya disimpan di kotak draft sampai entah kapan untuk punya keberanian mengirimkannya?

Vanilla bertanya-tanya dalam hati. Apakah sudah tepat apa yang ia lakukan itu? Sesaat pandangan ia alihkan dari laptop yang sudah menemaninya bekerja selama ini. Ia kembali melihat buku pemberian Galan kala itu. Dan kini, tekadnya bulat. Send, klik!

“Dan semua kuserahkan padamu, Tuhan.”

***

Tanpa Vanilla tahu, ada seseorang di luar sana yang tengah berkutat di depan laptop nya, mencoba mencurahkan segala isi hatinya untuk seseorang yang telah membuat hari-harinya semakin berwarna.  Kegiatannya terhenti saat telepon selularnya bergetar, “You’ve got mail”.

Senandung Rindu dari Negeri Angin

Langit sore berselimutkan lembayung senja, sayup-sayup terdengar rintih suara tak bertuan. Siapakah gerangan yang tengah meniupkan rindu kian merana hingga menyayat hati  siapa saja yang mendengarnya?

Mataku berkelebatan. Kepalaku menoleh ke kiri dan kanan berusaha mencari sumber suara yang menyanyikan nada rindu. Genangan air sehabis hujan semalam seolah membantunya dengan senandung rindu dari riak air tipis nyaris membeku.

“Tak perlu kau resah mencari sumber suara ini, Iliana”

Kata-kata ini seperti sengaja ditujukan padaku. Lagu lembut terjaring dari mata yang memicing berusaha melawan teriknya matahari sore yang sepertinya sedang asyik melakukan tugas hariannya.

Aku lelah, nyaris menyerah, dan cenderung marah. Tak juga kutemukan asal suara yang lagi-lagi membuat hatiku tersayat akan senandungnya. Senandung merindu yang tak jua bertemu ujungnya. Aku hanya ingin mencoba meredakan pilu yang tengah dirasakan si pemilik rindu. Hanya itu.

Aku tak ingin lirih suara itu mempengaruhi senja yang tengah menari sebelum petang mengajaknya kembali pulang. Senja yang tengah kunikmati saat ini, dengan waktu yang kumiliki hanya beberapa ucapan kata saja sebelum jingga tertelan dan malam kembali merayap datang.

“Siapa gerangan engkau Tuan, yang begitu pilu memilin rindu dan membuatku tersayat akan lirih suaramu?”

Ucapku dalam diam. Memandang dalam kecemasan. Cemas karena waktuku tinggal sepenggal saja. Senja, tolong jangan beranjak pergi. Tolong melambat sejenak. Tolong senja.

“Usah kau khawatirkan senja, Iliana. Ia akan tetap meninggalkanmu sendiri. Aku hanya ingin menyampaikan sebuah lagu, semoga sudi engkau mendengarnya”

Aku tertegun membisu dengan apa yang baru saja mampir di telingaku. Bahkan si suara mengetahui apa yang baru saja aku katakan? Bulu kuduk meremang tak tertahan. Menjalar jadi sebuah rasa penasaran yang semakin kuat bercokol di kepala.

Aku memejam, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk berkata lagi kepadanya. Kepada si pemilik suara.

“Lagu? Lagu apakah gerangan, jikalau boleh aku tahu?”

Tidak ada jawaban terdengar. Sunyi ini mencekam, menakutkan. Anginpun seperti membeku tidak bersuara, waktu seolah berhenti berdetak seketika. Gesekan daun-daun perdu yang sejak tadi berisik seperti ingin menyuarakan hak nya kini terdengar senyap. Aku termangu. Apakah ini halusinasiku saja?

***

“Iliaaanaaaaaaaa….”

Aku terkesiap. Lagi-lagi lirih suara itu datang menyapaku. Jendela kamarku yang menyisakan celah sempit dan suara itu makin jelas terdengar menelusup ke bilik kamar dan mengisinya dengan lirih suara mencoba mengisi kekosongan malam itu.

Ilianaaaaa……”

Kembali suara itu menyebar ke seluruh ruangan yang hanya memendarkan cahaya remang dari sebuah lampu meja berbentuk beruang. Ada sapuan angin lembut yang mengecup pipiku, dingin. Aku bergidik, namun mencandunya lagi. Kini ia menjelajahi jemari dan lenganku yang hanya berselimut piyama sutera berwarna jingga. Deru suara lembut ini mencoba memelukku! Menyerap rasa hangat dan menggantinya dengan dingin yang nyaris membuatku beku.

Aku merindumu, Iliana”

Kalimat itu menggantung di udara. Meninggalkan sebuah tanya besar untukku, siapa gerangan ia yang tengah jatuh merindu?

Aku tidak bertanya padanya. Aku memejamkan mata dan meresapi rasa dingin yang kini sudah menjalar hingga ke telapak kaki kecilku. Dingin ini membuatku beku, tapi hatiku justru terasa sesak dengan rasa hangat seperti magma bumi yang siap memuntahkan laharnya.

Kudekati jendela kamarku yang hanya menyisakan celah sempit. Ketika kubuka, angin itu berjejalan masuk ke dalam ruangan, menyergapku yang masih berdiri terpaku di ambang jendela kamar. Dorongannya kuat seolah mendekapku erat, meski yang kurasa hanya dingin yang menusuk di seluruh tubuh. Kusunggingkan senyum, membuka kedua lenganku dan mencoba menyambut angin dengan pelukan terhangat.

Dan ia pun kembali berbisik lirih.

Terima kasih, Iliana. Terimalah sepucuk rindu dari negeri angin untukmu,kekasihku. Kuuntai dalam nada sendu, menemanimu menuju mimpi terdalammu..”

Sebuah rindu yang telah beku mencoba melebur dalam dekap hangat kekasihnya, Iliana.

angin

Jakarta, 29 Oktober 2012

*fiksi ini harusnya diikutsertakan dalam kontes yang diadakan @katabergerak. Tapi saya lupa untuk mengirimkannya hingga lewat batas terakhirnya.

*foto diambil di sini

Cerita Dunia dalam Genggaman

Lama kita tak berjumpa, sejak waktu kita berpisah di stasiun Tugu, Jogja, tepat setahun lalu. Kamu tidak tampak berbeda, tetap rupawan seperti biasanya. Kita berjalan menuju pusat kota, mencoba mencairkan suasana dengan bercerita tentang masa dimana kita selalu bersama dulu kala.

Namun, ada yang berbeda. Bukan pada rupa yang terbaca, tapi pada rasa yang ada disini. Di dalam dada. Entah bagaimana ini bermula, ketika kurasa segala perhatianmu bukan lagi hanya untukku semata. Seluruh ceritamu masih saja harus terbagi dengan si mungil yang enggan lepas dari genggaman.

Padahal kutempuh ratusan kilometer berkendara hanya untuk melihatmu yang kuharap dengan riang gembira menyambutku bahkan tak segan menghamburkan pelukan hangat ketika kuingin kau dekap. Kamu tahu? Perjalanan ini panjang, sayang. Aku jadi bertanya, haruskan aku bertahan denganmu yang masih asyik berkutat dengan ‘dunia’ mu sementara aku nyata saat ini dihadapmu?

Entah kamu bertukar cerita dengan siapa. Dan kurasa bukan seseorang yang patut kutaruh curiga, tapi pada apa yang membuatmu lupa. Kamu menjadi akrab dengan mereka, kawanmu di seberang sana. Berbagi canda tawa dengan riuhnya yang bersuara bagai denting nyaring di suasana hening antara kita.

Atau.. kita ubah saja cara komunikasi kita? Agar aku tahu bagaimana rasanya riuh ceritamu meski itu tercetak dalam layar mungil si pencuri suara mu yang ceria.

Dulu, sebelum kita bersua, kamu selalu antusias menjawab apa saja ketika kutanya meski hanya sebuah kabar. Sekarang, kamu menjawab tanyaku dengan sebuah pesan “lihat te-el ku aja” dengan entengnya.

Bukan.. bukan tentang ceritamu yang kutunggu. Tapi bagaimana caramu bercerita yang membuatku selalu larut dalam duniamu. Itu saja. Dan te-elmu itu tidak bisa melakukannya. Karena melalui ceritamu, aku merasa ‘ada’ di sana. Mendampingi dan berinteraksi, meski itu semua hanya dalam imaji.

Aku bosan bertanya padamu malam ini yang selalu dijawab dengan ekspresi ala kadarnya. Ia, si mungil yang kebanyakan orang bilang sangat pintar namun pada akhirnya membuat kamu menjadi seperti orang bodoh yang tertawa sendiri tanpa peduli sekitar. Membuatmu mendapatkan sebuah julukan baru ‘si autis’ yang bikin aku sakit mendengarnya.

Ia, si mungil yang ada di tanganmu, memang membuat dunia jadi ada di dalam genggaman. Atau… jangan-jangan hanya sebatas itu saja duniamu?

Jakarta, 28 November 2012

Sebuah Renungan, “dunia itu semakin indah jika kita mau membaginya dengan mereka, bukan hanya yang ada di dunia maya tapi juga mereka yang ada di dunia nyata. semoga kita tidak pernah lupa. :)”

*foto diambil di sini

Kebiasaan Itu Susah Hilang

“tok..tok..tok”

Sebuah ketukan halus menyambut pagi. Pintu terbuka dan seseorang masuk ke dalam ruangan. Aku tidak langsung melihatnya, karena masih asyik berkutat dengan kertas dan pensil sejak tadi.

“Makasih ya Mas Mul..” ujarku tanpa menoleh.

“Sama-sama mba, tapi saya Yandi. Bukan Mas Mul,” jawabnya singkat sambil tersenyum meninggalkanku yang terpaku dan masih bingung dengan apa yang baru saja aku ucapkan.

Aku terbiasa. Ini hanya sebuah kebiasaan pagiku. Dan kini semua tak lagi sama seperti biasa, dan aku harus mulai membiasakan diri. Yaa, aku harus mulai membiasakan diri.

 

Ruang Design, 22 November 2012
“Saat semua yang biasa terjadi harus terhenti, kita hanya perlu membiasakan diri kembali. Beradaptasi dan memulai lagi tanpa menangisinya lagi.” :’)

Saya Malu!

Berjalan dan memperhatikan setiap gerak gerik jemari seseorang di dunia maya memang menjadi candu yang sulit hilang sebagai kebiasaan. Dan tiap kali saya berperjalanan dan mampir ke ‘rumah-rumah’ mereka yang senang bermain dengan kata dan aksara, selalu membuat saya takjub dan tercenung.

Seperti pagi ini, saya berkubang di dalam kolam aksara seseorang yang membuat saya jatuh cinta,  sejak pertama. Bukan karena ia siapa, tapi karena ia mengubah semesta menjadi sangat hidup nyata hanya dengan merangkai kata-kata. Dan sekali lagi saya katakana, saya jatuh cinta!

Ia, dengan caranya berhasil memikat mata almond saya dan menjerat jemari ini untuk terus mengikuti jejaknya sampai habis tak tersisa. Saya tak ubahnya kerbau yang dicucuk hidungnya, menuruti setiap goresan kata yang tertoreh di dalam sarang laba-labanya.

Saya hanya berani menyapanya sekali, tanpa bisa berkata-kata lain lagi. Saya tak berani mengungkapkan apapun dihadapnya, takut yang keluar hanya muntahan menjijikan yang harus duduk sejajar dengan indahnya barisan kalimatnya yang tertata manis siap untuk disajikan untuk para pencinta.

Ia begitu puitis lagi manis. Tetiba saya merasa kecil. Oh, tidak, jangan bayangkan saya yang mengubah diri menjadi liliput. Saya masih tetap gendut seperti biasa. Aaaak! Saya malu! Berandai menuliskan sebuah buku namun dengan kualitas yang masih minim saya miliki saat ini, terlebih setelah membaca deret-deret imaji yang terpilin di dinding rumahnya.

Ya..saya malu!

Biarkan saya menikmati rasa malu dan kecil saat ini untuk bisa mengoreksi diri kembali dan mencambuk rasa malas dan meniupkan topan semangat dalam diri untuk bisa lebih baik lagi. Saya masih punya mimpi. Dan saya tidak mau kecil lagi.

Suatu hari nanti, saya akan bisa menyapamu dengan kepala tegak berdiri dan membuatku pantas duduk sejajar denganmu dengan menuntun barisan kata yang siap menemani barisan katamu dalam sebuah buku. Itu janji saya.

Jakarta, 22 November 2012, 10.40

Cinta itu Strawberry

hari berganti hari, puluhan matahari telah terlewati namun rasa itu akan selalu datang menebar rasa manis atau asam yang mengejutkan. siapkah kamu untuk rasa yang enggan hilang?

Bicara soal cinta. Hmm..siapa sih yang gak kenal dengan soal yang satu ini?! Topik cinta selalu saja jadi obrolan asyik untuk siapa saja. Tak terkecuali untuk saya dan kawan-kawan malam itu.

“Menurut Cikgu, cinta itu apa sih?” celetuk Syira, salah satu teman di asrama yang sedang asyik mengerjakan tugas presentasi di kamar saya. “Kalau menurut aku, cinta itu seperti jus alpukat. Enak, yummy!” serunya.

Unna, yang agak ‘alergi’ tiap kali ngomongin cinta langsung bergidik dan meminta kami membahas hal lainnya. Berbeda dengan Mey, adik kecil yang satu ini hobi sekali membahas soal cinta, hubungan antara pria dan wanita, serta soal hati.

Hehe, unik memang. “Nah, kalau menurut Cikgu cinta itu apa?” pertanyaan itu diulang kembali. “Hmmm.. pertanyaan yang gampang. Tapi susah jawabnya,” ujar saya sambil berpikir.

“Cinta itu strawberry,” ujar saya tiba-tiba.

“Strawberry? Maksudnya?” tanya mereka serempak.

Hmmmm….” ada jeda panjang sebelum saya menjelaskan hal ini. Sejujurnya, saya tidak terlalu mengerti apa arti cinta sebenarnya. Perasaan seperti apakah cinta itu. Tapi kalau dikaitkan cinta antara pria dan wanita, mungkin jawaban saya seperti tersebut di atas.

Sederhana saja pemikiran saya.

Cinta bisa diibaratkan seperti buah strawberry. Warnanya yang merah nan cantik itu selalu menggoda siapa saja yang melihatnya. Tidak tahan untuk tidak dipetik dan dicicipi. Seperti halnya cinta yang datang dan menyapa siapa saja. Menggoda setiap orang untuk ‘jatuh’ dan merasakan sendiri sensasinya.

Meskipun warna strawberry merah menggoda, namun rasanya masih belum bisa diprediksi. Demikian dengan cinta. Godaan yang datang memang menggiurkan, tapi apakah cinta akan berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan? Belum tentu juga.

Rasa strawberry ada yang manis segar, tapi ada juga yang asam menggigit. Padahal, warnanya sama-sama merah! Biji-biji kecil berwarna hitam yang ada dipermukaan buahnya memang mengganggu di lidah, tapi tetap saja dimakan sampai habis bukan?

Cinta juga tak kalah menarik. Saat akhirnya memilih melabuhkan cinta, kita tidak pernah tahu cinta seperti apa yang akan kita dapat. Apakah akan manis hingga akhir? Atau akan masam dan membuat kita memilih berhenti dan mencari cinta yang lain.

Dalam cinta, pastinya tidak selalu mulus. Selalu saja ada rintangan yang datang dan harus dihadapi. Rintangan itu ibarat biji strawberry yang memang harus dimakan sepaket dengan buahnya. Ketika kita mendapat strawberry dengan rasa yang asam, kadang kita malas untuk memakannya lagi.

Tapi suatu hari rasa penasaran akan muncul kembali dan memaksa kita untuk mencoba kesekian kalinya.

Seperti itulah cinta. Ketika kita gagal hari ini dan merasa malas untuk bermain dengan cinta, akan datang suatu hari nanti rasa penasaran dan haus untuk meneguk rasa cinta yang memabukkan.

Bahkan ada juga orang-orang yang tidak pernah menyerah untuk mencicipi cinta meskipun barkali-kali jatuh dan terpuruk karenanya. Orang-orang yang gigih untuk mendapatkan manisnya cinta, seperti memilih strawberry. Ketika sekali mendapatkan rasa yang asam, tidak lantas membuatnya patah semangat untuk mendapatkan strawberry yang manis. Lagi…lagi..dan lagi.. Dicoba hingga akhirnya menemukan buah yang rasanya manis.

Jadi, buat saya cinta itu ya strawberry. Meskipun tidak melulu manis bahkan cenderung asam saya tetap saja mencicipinya. Nggak kapok kalau nanti bakalan dapat rasa strawberry yang kecut kayak ketek (kayak pernah nyicip ajah, hehe) atau mungkin saya beruntung langsung mendapat strawberry dengan rasa manis yang pas. Pas di lidah, dihati,bahkan di lambung. Ngga bikin maag kambuh!

Dan semoga saja saya menemukan cinta yang pas. Pas dicari pas dapet. Pas dihati, pas di ortu. Pas dilamar eee..pas nerima. Hehehe..semuanya serba PAS! Yaa,seperti strawberry yang manisnya pas! 😀

Nah,bagaimana cinta menurutmu? ^^

16 November 2011

Membuka kenangan kadang memilukan namun kadang menyenangkan. Dan aku memilih membuka kenangan manis bersama saudara selama di perantauan.