Ini adalah minggu pertama aku mengajar di sekolah ini. Sekolah bertaraf internasional yang terletak di bilangan Jakarta Barat. Tegang? Ah, tentu saja. Kali ini aku bukan menghadapi wajah-wajah mahasiswa tengil dan tukang gombal seperti tahun lalu. Sekarang yang kuhadapi adalah wajah-wajah lugu yang masih gemar minum susu.
Wajah-wajah polos yang masih sering ngompol di celana dan memberikan makan siang nya hanya karena ia tak suka bentuk potongan sayurnya. Ya, aku mulai mengajar anak-anak yang masih duduk di kelas satu sekolah dasar. Tertantang? Ah, tentu saja!
Mengajar mereka justru lebih menantang jika dibandingkan harus menghadapi muka genit mahasiswa tingkat akhir yang kutemui hampir setiap hari.
Cerita seru selalu saja terpilin. Ada saja celotehan mereka yang membuat perutku sakit. Tak sedikit pula tingkah laku mereka yang kadang membuatku gemas namun harus kutahan rasa inginku untuk mencubit pipi gempal kemerahan itu. Kadang, aku tak tahan untuk melayangkan pelukan untuk murid-murid gempalku yang tak bisa duduk diam di bangkunya. Kalau sudah begini, mereka akan memelukku lebih erat dan mengatakan “I love you, Miss Tya”. Ah, manis!
Di kelas, ada seorang anak yang sudah mencuri perhatianku sejak pertama. Aku selalu memanggilnya Russel. Ya, karena ia mirip sekali dengan Russel si anak anggota pramuka yang ada di film UP. Gempal dan menggemaskan!
Siang ini pelajaran Bahasa Indonesia. Murid-murid di kelas kuberi tugas untuk latihan menulis selagi aku memeriksa hasil pekerjaan mereka yang lain. Disaat anak-anak yang lain asyik dengan buku dan pensil mereka, Russel justru sibuk sendiri dengan pensilnya.
Kuperhatikan ia dari tempatku yang hanya berjarak lima jengkal. Oh ya, Russel tidak pernah suka duduk di belakang. Padahal tubuhnya sering menghalangi pandangan Sean yang tubuhnya jauh lebih kecil, setengah dari tubuh Russel. Kalau sudah begini, aku harus mendamaikan mereka dengan membuat bangku sejajar dua agar mereka bisa berada di barisan depan.
Balik lagi, Russel sibuk memainkan pensil Mickey Mousenya. Setiap ia mulai menulis ia menjatuhkan pensilnya. Diambilnya pensil itu dan kembali menulis selang beberapa saat pensil itu dijatuhkannya lagi. Aku yang sejak tadi memperhatikannya jadi gerah juga. Kutegur ia.
“Russel, kalau kamu main-main terus dengan pensilmu, tugas yang Miss.Tya kasih nggak akan selesai ,” tegurku.
“Ini susah, Miss,” jawabnya tanpa mau melihat mataku langsung.
“Apanya yang susah? Kan sudah dikasih contoh tadi,” nadaku sedikit meninggi.
Ia hanya tertunduk. Memaju mundurkan pensil yang tergeletak di atas buku tulisnya. Wajahnya sulit kutebak apakah ia memang sedang memberontak dari perintahku tadi atau ia menyesal.
Tiba-tiba..
“Aku ngga bisa pakai ini, Miss,” wajahnya melihatku dengan memelas sambil menunjuk pensil yang masih dimain-mainkannya.
Aku yang bingung dengan jawabannya hanya bisa bertanya “kenapa?” sambil menunggu rangkaian jawabannya yang lain.
“Pensil ini nggak bisa aku pegang, Miss. Pasti terlepas terus,” tuturnya sambil memperlihatkan jari-jarinya yang pendek dan gempal.
Kontan saja saat itu juga tawaku ingin meledak tapi segera kutahan dengan sekuat tenaga. Jari-jari Russel yang gemuk-gemuk itu tidak bisa memegang pensil dengan benar, sehingga pensil itu selalu tergelincir dari tangannya. Mukanya yang sedih, membuatku menahan tawa segera.
“Yasudah, kamu nulisnya pelan-pelan aja ya. Biar pensil kamu nggak jatuh lagi,” hiburku yang akhirnya membuat ia kembali tersenyum dan semangat untuk menulis lagi.
***
Pekerjaanku memeriksa tugas-tugas ini hampir selesai ketika Russel mencoba mengganggu Sean yang membuat si kecil itu berteriak nyaring dan melengking. Aku menyerah kalau Sean sudah mulai berteriak-teriak. Pusing!
Aku mencoba melerainya.
“Hei..hei.. kalian kenapa ribut-ribut? “ tanyaku sambil menengahi mereka yang mencoba saling pukul.
“Itu tuh Russel Miss, masa aku disuruh-suruh terus dari tadi. Tugasku belum selesaaaaaaiiii,” teriak Sean yang nyaris menyaingi Mariah Carey dengan nada falsetonya.
Russel yang memang tahu ia bersalah, hanya menunduk sambil memainkan ujung rompi bajunya.
“Russel, kamu minta apa sama Sean sampai Sean marah?” tanyaku pelan-pelan. Russel hanya diam. Matanya tak berani melihatku ia hanya menunduk dalam-dalam sambil terus memainkan ujung bajunya. Sedangkan Sean yang sudah mulai tenang kembali asyik dengan buku dan pensilnya. Syukurlah!
“Russel.. Miss Tya tanya sama kamu lho..” aku coba bertanya lagi padanya.
“Aku Cuma minta tolong ambilkan pensil ku yang jatuh di lantai doang kok Miss,”jawabnya sambil menunjuk pensil yang terjatuh di lantai.
“Kenapa kamu nggak ambil sendiri?” tanyaku lagi.
“Nggak bisa!” sanggahnya dingin. Ah, anak ini sedang berulah lagi rupanya. Aku mulai memaksa ia untuk mengambil pensil yang jatuh. Dan ia tetap menolak.
“AKU NGGAK BISA, MISS!” teriaknya kepadaku. Aku mulai sedikit memaksa ia untuk mengambilnya dengan sedikit memberikan pandangan tajam ke arahnya.
Dengan berat hati ia mulai mencoba meraih pensil itu. Tapi tidak bisa. Tangannya tak sanggup menggapai pensil itu.
“Russel, kalau kamu ngambilnya begitu pasi susah, coba jongkok dan ambil,” kataku sambil terus memperhatikan apa yang dikerjakannya.
“Uh..uh.. sulit Miss!”
AStaga! Sial! Aku baru menyadari satu hal. Russel tidak bisa jongkok! Paha dan betis yang gempal agaknya menyulitkan ia untuk melakukan itu terlebih perutnya yang tambun makin mempersulit ruang geraknya.
Tapi demi Tuhan, di luar rasa kasihanku melihatnya yang bersusah payah mencoba mengambil pensil itu aku tertawa melihat pemandangan lucu di hadapanku. Tapi aku urungkan niat menolongnya. Ia harus belajar untuk berusaha mengambil apa yang ia memang inginkan dan perlukan.
Ada rasa inginku untuk memberi tahunya untuk mencari cara lain, tapi ia tetap berusaha jongkok untuk mengambil pensil itu. Peluh sudah mulai membanjiri sekujur tubuhnya. Wajahnya merah padam menahan sesak saat ia mulai jongkok. Tapi tiba-tiba ia berdiri. Dan men gembangkan senyum lebar. Aku heran dengan sikapnya.
Lalu dalam hitungan detik ia duduk dan tengkurap untuk bisa menjangkau pensil yang ada di bawah mejanya. Ah, Russelku pintar! Aku menahan tawa melihat gaya nya yang lucu saat mencoba menggapai pensil itu. Tapi akujuga terharu dengan usahanya.
Satu masalah selesai, masalah lainnya muncul. Ia tak bisa berdiri! Haha.. Akhirnya aku tak tega, dan memutuskan untuk membantunya. Kulihat bajunya sudah basah dengan peluh lengkap dengan debu yang menempel akibat aksinya tadi.
Aku langsung menghamburkan pelukan untuknya yang langsung disambut dengan sebuah pertanyaan yang tak akan aku lupa hingga sekarang.
“Miss Tya udah nggak marah lagi kan?”
“Ngga dong. Kamu kan pinter!” jawabku sambil mengusap kepalanya.
“Horeeee!! Aku takut liat Miss. Tya tadi, matanya kayak mau copot! Kayak Mad-Eye Moody di Harry Potter!” tuturnya riang sambil memamerkan deret gigi yang tak lagi utuh karena cokelat dan permen.
Aaaaakkk!!! Anak ini! Aku makin menghujaninya dengan pelukan erat sambil mencubit-cubit pipi gemuknya tanpa peduli ia yang berontak ingin kabur dariku.
Kemang, 4 Maret 2013