LDR is about Understanding 

long-distance

Long Distance Relationship atau yang sering mereka bilang LDR menjadi momok menakutkan untuk sebagian besar orang. Pun saya kini. Dulu sekali, LDR memang tidak sempat mampir pada saya, tapi berhubungan layaknya LDR terlalu sering saya jalani. Kesibukan dan lokasi rumah plus kantor yang berbeda arah mata angin membuat hubungan kami macam LDR saja. Tapi sejauh itu, hubungan kami tidak ada masalah sama sekali. Berakhirnya hubungan itu juga bukan karena jarangnya komunikasi dan jarangnya pertemuan setiap harinya. Kami mencoba untuk mengerti satu sama lain.

Meskipun terkadang kesal dengan sikap cueknya ketika saya sedang membutuhkan sedikit perhatian karena pekerjaan yang semakin menggila dan mengharuskan saya pulang dini hari. Tapi, lagi-lagi saya mencoba mengerti dan kembali mengalah.

Sekarang, tidak ada lagi LDR. Short distance pun tidak. Tapi hal ini justru membuat saya berpikir. Berpikir lama sekali. Bagaimana mungkin hubungan sebatas pacaran jadi masalah ketika jarak terpisah jauh sekali, tapi ada sebuah pernikahan yang tetap berjalan baik adanya meskipun jarak dan zona waktu berbeda sedemikian rupa?

Pada akhirnya satu yang saya pahami, kalau jarak ataupun waktu tidak bisa menjadi alasan sebuah perpisahan. Kita manusia diberi hati untuk saling memahami dan akal untuk bisa mencari solusi mengatasi setiap masalah itu.

Namun, terkadang manusia juga lupa kalau saling mengerti dan percaya serta membebaskan adalah landasan awal berjalannya sebuah hubungan. Tidak perlulah lagi merasa insecure untuk sebuah hubungan. LDR is about understanding. Ya, memahami, mengerti, dan mau saling mendengarkan. Mungkin terdengar klise, tapi belum tentu mudah dijalankan. Meski tak mudah, bukan berarti tak mungkin, bukan? Semua hanya butuh usaha dan keikhlasan menjalankannya. Toh Tuhan itu tidak pernah tidur. Ia sangat tahu mana umatnya yang benar-benar berusaha menjalankan hubungan di jalanNya. Dan pada akhirnya, saling mengerti adalah hal yang paling dibutuhkan kini.

Kandang Beruang, menuju 9 Januari 2013.
*foto dipinjam di sini

Perihal Jabat Tangan

jabattanganBerkenalan dan mengenalkan diri, itu yang paling disuka saat menyusuri tempat baru. Mengulurkan tangan, menggenggam, dan tersenyum, sederhana saja. Tapi itu justru awal bermula apakah semua cerita bisa mengalir sesudahnya atau cukup diam dan menjaga jarak beberapa hasta. Setidaknya itu menurut saya.

Ada kalanya, mereka, orang-orang baru yang saya temui hanya ‘memberikan’ genggaman sekadarnya saja. Terkesan dingin, dan memberikan jarak dengan orang yang baru dikenalnya. Saya sendiri kadang merasa ‘tidak diterima’ ketika berjabat tangan dengan orang-orang seperti itu. Tidak ada hangat yang menjembatani pertemuan ini.

Tapi saya maklum, saya hanya makhluk asing untuk mereka. Pun mereka untuk saya. Tapi, buat saya itu penting, dimana kepercayaan biasanya mengalir pelan namun pasti melalu jabat tangan. Dan dari jabat tangan saya bisa menerka apakah saya bisa diterima atau tidak dihatinya. Itu saja.

Jakarta, 8 Januari 2013 ; 15.10
*foto dipinjam di sini