Siang tadi aku membereskan lemari tua milik Mama. Ada kotak persegi berukir cantik di dalamnya. Aku ingat kotak itu dulu kuberi nama Pandora, karena jika kubuka maka aku akan membuka banyak luka lama. Aku bukan orang yang senang menyimpan luka tapi aku pun menolak lupa, agar tak lagi aku terjatuh di dalamnya.
Hari ini aku memberanikan diri untuk membukanya. Kurasa aku sudah siap dengan segala kenangan yang akan berhamburan, berloncatan, bahkan terbang dan hinggap langsung di kepala dan menelusup, mencungkil bagian hati yang pernah berlubang kehitaman dulu sekali.
Perlahan kubuka kunci yang terkait di salah satu sisinya. Tak ada reaksi apa-apa. Tak ada sakit yang menghujam dada tiba-tiba. Atau mungkin belum ada?
Banyak lembar-lembar cerita yang pernah tertoreh di dalam sana. Tapi justru aku tersenyum membacanya. Menertawakan diriku yang pernah begitu bodoh mencintai seseorang begitu rupa hingga lupa akan dunia nyata. Ya, saat itu aku hidup pada duniaku saja yang kubangun layak istana dan seorang pria menjadi pangeran tampannya. Tapi itu tak berlangsung lama dan selalu begitu pada setiap cerita. Tidak ada yang berubah sejak dulu. Karena cinta ya begitu saja. Merasa bahagia untuk terluka nantinya.
Senyumku terkembang sempurna, semu merona mungkin sudah bercokol sempurna di pipiku. Melihat semua kenangan yang dulu kuanggap tidak layak untuk kuingat tapi enggan kulepaskan. Hingga kutemukan selembar foto seseorang yang masih sangat kukenali rupanya.
Ia yang pernah mengisi hari-hariku dua tahun lalu. Ia yang pernah mengumbar janji dan rencana ke depan bersama. Membangun sebuah rumah tangga yang menurut ceritanya sangat sempurna. Namun akhirnya ia juga yang merubuhkan seluruh kastil impian yang sudah bercokol manis di kepalaku.
Tak peduli apa alasan yang ia berikan, hanya satu yang kutahu bahwa ia begitu menyakiti hatiku, juga keluargaku. Menghilang tanpa pernah memberikan pesan apapun. Namun dengan arogannya datang lagi meminta maaf dari hati yang pernah dihujam ribuan pedang dari kata-katanya. Membuat penantian yang pernah dilakukan terasa sia-sia, pengertian yang diberikan seakan percuma, dan maaf bukan lagi jadi obatnya.
Aku marah seketika. Ingin rasanya aku mengamuk, menjerit, dan melemparkan semua hujatan terhina untuknya. Ia telah merampas semua bahagia yang aku punya. Bahkan ia dengan santainya mengatakan akan segera membina rumah tangga dengan orang yang baru saja dikenalnya.
Aku menangis sejadinya mengingat apa saja yang membuatku jatuh karenanya. Aku marah sekuat yang aku bisa. Membuat gumpalan dendam di dada segera hancur dengan sekali teriakan saja. Hingga isak yang kudengar cukup di hati saja.
Aku membuat pemakluman hari ini. Ya, cukup hari ini saja aku membolehkan diriku menangis karenanya. Merasa sakit untuk terakhir kalinya, untuk segera bangkit lagi apapun kondisinya, karena aku tidak selemah yang ia duga. Selalu ada karma untuk setiap perbuatan. Mungkin karmamu sedang menanti saat ini.
Jakarta, 30 Januari 2013