Pengakuan Vanilla

Malam kian larut, jarum jam sudah tergelincir terlalu lama dari pukul 12 tengah malam, tapi sepertinya kantuk enggan singgah di pelupuk mata Vanilla. Ia terlalu gelisah sehingga membuatnya sulit memejamkan mata apalagi untuk mulai merajut mimpi.

Perasaannya kacau. Entah sejak kapan perasaan itu mulai menghinggapi dirinya. Membuatnya sulit tidur meski kadang tubuh sudah menjerit karena letih seharian berkubang dengan jalanan Jakarta yang kian menggila tiap harinya.

Tetiba, ia bangkit dari tempat tidurnya. Berjalan mendekati meja kerja yang masih berserakan dengan kertas-kertas laporan yang seharusnya ia kerjakan untuk diajukan esok pagi. Tapi gelisah justru lebih asyik menggayut manja ketimbang semangat membereskan kertas-kertas penuh angka.

Perlahan ia menyalakan laptop miliknya yang sejak tadi hanya menampilkan layar hitam, sehitam lingkaran matanya akibat kurang tidur sejak beberapa hari belakangan. Ia mulai membuka halaman surat elektronik dan mencoba mengetikkan sesuatu di sana. Sebuah nama penerima yang ternyata sumber segala resah yang ia miliki sejak beberapa hari terakhir.

Galan Prabu.

Seseorang yang telah mengisi hari-harinya setahun terakhir. Seorang pria yang ia kenal dari sekumpulan kebetulan dan ketidaksengajaan. Seseorang yang sudah menanamkan sebuah bibit di hatinya tanpa pernah ia sadari sampai akhirnya bibit itu tumbuh dan bermekaran begitu cepatnya.

Berkali-kali Vanilla mencoba mengetikkan sesuatu, tapi yang ada hanya sebuah kata yang selalu dihapusnya. Ia sadar betul apa yang tengah dirasakan tapi ia terlalu bingung bagaimana menuangkannya.

“Aaarrgggh…”

Ia kesal sendiri, dan seperti hendak menyerah, ia tertunduk lesu, menenggelamkan kepalanya untuk bertumpu di kedua lengannya.

“Why God.. why? Why me?” ujarnya setengah terisak.

***

Galan Prabu, lelaki yang ia kenal tanpa sengaja di sebuah acara. Kala itu Galan mengira Vanilla adalah kawan kecilnya yang sudah terpisah sangat lama. Tapi ternyata Galan salah. Dari situ obrolan demi obrolan mengalir, bertukar nomor telepon dan berjanji untuk bertemu lagi.

Sehari dua hari, tidak ada satupun pesan masuk untuknya. Vanilla enggan untuk mengirimkan pesan lebih dulu, ia merasa perkenalan dan pertukaran nomor itu hanya sekadar basa basi lelaki pada umumnya. Sampai suatu hari ia sedang berada di sebuah toko buku bekas di kawasan Blok M. Saat ia tengah asyik berkubang dalam lautan buku-buku dengan peluh yang sudah membanjiri sekujur tubuhnya, tiba-tiba saja sebuah tepukan halus di pundak menghentikan aktivitas ‘menyelam’ di lautan buku.

“Cari apa di sini Van?”

Vanilla terkesiap dan langsung menoleh ke arah sumber suara. Betapa terkejutnya ia menemukan seseorang yang ia hapal betul wajahnya karena sebuah perkenalan beberapa waktu lalu.

“Galan? Kamu, ngapain ada di sini? Sama siapa?”

“Hahaha..udah kayak polisi nanyanya beruntun gitu. Aku lagi cari buku buat tugas, nih. Kamu ngapain di sini? Heboh banget mblusuk-nya,” jawabnya.

“Hahahahaha.. kamu ngerti mblusuk juga? Aku lagi cari buku cerita anak-anak sekalian cari novel Lupus, tapi yang bekas-bekas aja,” jawab Vanilla singkat, masih dengan raut wajah kaget.

Pertemuan tanpa sengaja kedua kalinya membawa mereka duduk di sebuah warung gudeg milik Bu Gendut yang letaknya tak jauh dari lokasi mereka saat itu. Lalu kembali obrolan demi obrolan mengalir tanpa terasa. Seperti takut jika waktu kembali hilang dan harus menyudahi cerita sampai situ jika terselip jeda sedetik saja.

“O ya, Van, boleh minta nomor kamu lagi ngga? Hp aku ilang sepulang acara waktu itu, makanya ngga bisa hubungin kamu. Untung kita ketemu di sini.”

Kata-kata Galan barusan mematahkan dugaan Vanilla. Ada perasaan lega, senang, menelusup diam-diam dalam hatinya.

Pertemuan demi pertemuan mereka lakukan. Tidak hanya mencari buku, hunting dvd, nonton di bioskop, bahkan sekedar untuk cari roti bakar tengah malam, sering mereka lakukan.

***

Satu persatu kenangan akan Galan membuat Vanilla semakin sedih. Ia semakin tenggelam dalam isak tangis yang sepertinya sudah tertahan sekian lama. Telepon genggam yang sejak tadi hanya berdiam di salah satu sudut mejanya ia sambar dan dengan tergesa ia mencoba mengetikkan sesuatu. Lagi-lagi ia mengapusnya.

Waktu sudah beranjak pagi meski ayam jantan belum berkokok menandakan malam akan segera terganti.

Ia terdiam. Memandangi sebuah tulisan yang berada di halaman pertama sebuah buku. Buku pemberian Galan yang masih bersampul manis dan selalu dibukanya ketika ia merasa sedang butuh kekuatan. Kekuatan dan dukungan seorang yang memang mengerti akan dirinya.

Kini, ia lebih tenang. Ia mulai menyalakan kembali laptop yang sejak tadi hanya memandang dalam kebisuan.

To : prabugalansatria@gmail.com
From: anandavanilla@ymail.com
Subject: Umm..my little confession

Dear Galan,

Hmmm..sebelumnya aku minta maaf mengganggu waktu tidurmu. Ya meski aku tahu, sesaat lagi kamu pasti sudah bersiap membuat laporan padaNya. Aku sedikit bingung sebenernya harus mulai dari mana. Mungkin kamu agak bertanya-tanya saat membaca subjek dari emailku ini. Tapi bukan maksud hati membuat kamu bingung, ini hanya cara ku mencoba memberitahukan sesuatu. *iya iya, aku sok misterius*

Ummm..hal ini bermula sejak beberapa bulan lalu. Dan mungkin kamu sudah tahu. *jika kamu cenayang sih* Entah karena apa atau sebab bagaimana, ternyata kehadiranmu punya arti tersendiri (setidaknya ini yang aku rasakan). Sikap dan perhatianmu selama ini membuat aku nyaman. Bahkan sangat nyaman, meskipun akhir-akhir ini jarang sekali aku rasakan.

Hmm..mungkin ini cuma perasaanku saja. Tapi ternyata makin lama rasa ini makin besar dan aku tak tahu bagaimana cara untuk menghilangkannya. Bahkan terkadang, rasa ini menyiksaku 😦

Aku tak pernah punya keberanian untuk bilang sama kamu. Sampai akhirnya sekarang aku memberanikan diri menulis ini semua.(dengan konsekuensi mungkin kamu bakalan ilfil, ngga bakalan mau ketemu aku atau bahkan ngga mau kenal sama aku lagi kali yah?!)

Hehe..aneh yah?! Aku berusaha menetralkan semuanya dan kembali seperti sedia kala (seperti diawal aku mengenalmu tanpa sengaja). Tapi semakin aku berusaha untuk membunuh semua perasaan yang ada ternyata justru semakin mengikat aku terlalu kuat sampai terkadang membuatku sulit untuk berpikir  jernih.

Gal, aku tak mau membebanimu dengan apa yang baru saja aku utarakan. Ini semua cuma sebuah pengakuan ‘kecil’ ku yang kurasa cukup bisa membuat aku kembali ‘normal’ (semoga). Dan semoga ini adalah hal tergila pertama dan terakhir yang pernah aku lakukan.

Thank you banget sudah mau menyempatkan diri membaca email ini. Hmm.. meski aku ngga tau reaksi kamu. Tak mengapa, yang penting aku sedikit lega dan menurutku kita tak akan pernah tau apa yang akan terjadi besok.

Dan aku tak mau kehilangan kesempatan untuk mengatakannya, sebelum akhirnya menyesal karena tak pernah mengungkapkannya. Tapi tenang, aku tak meminta apa-apa darimu. I just want you to know, thats all! 

Dan sekarang aku lega.. ^^ Toh, kalau kita tak punya kesempatan buat ketemu lagi, aku sudah mengakui sebuah kejujuran dan tidak pernah menyesal karena melewatkan ini. 😉 O ya, terima kasih banyak atas semua sikap baik kamu selama ini. Maaf, kalau mungkin aku terlalu GR atas sikap manismu.

Hmm..baiklah, sepertinya sudah terlalu banyak yang aku katakan disini. Dan aku tak mau mengganggu mu lebih lama lagi. Have a nice day, and until we meet again, you! 

With love,

Vanilla

Dan akhirnya, selesai. Sebuah surat elektronik yang ia buat telah selesai tepat ketika adzan subuh telah berkumandang. Tapi ada sedikit keraguan saat akan menekan tombol kirim di sudut kiri atas. Haruska ia mengirimkannya atau hanya disimpan di kotak draft sampai entah kapan untuk punya keberanian mengirimkannya?

Vanilla bertanya-tanya dalam hati. Apakah sudah tepat apa yang ia lakukan itu? Sesaat pandangan ia alihkan dari laptop yang sudah menemaninya bekerja selama ini. Ia kembali melihat buku pemberian Galan kala itu. Dan kini, tekadnya bulat. Send, klik!

“Dan semua kuserahkan padamu, Tuhan.”

***

Tanpa Vanilla tahu, ada seseorang di luar sana yang tengah berkutat di depan laptop nya, mencoba mencurahkan segala isi hatinya untuk seseorang yang telah membuat hari-harinya semakin berwarna.  Kegiatannya terhenti saat telepon selularnya bergetar, “You’ve got mail”.

10 thoughts on “Pengakuan Vanilla

  1. Awalnya cukup membingungkan.. setelah beberapa kali di baca baru gw ngerti..
    overall bagus.. akan lebih bagus lagi kalo alur menuju puncak kejadian nya lebih gampang dipahamin.. setidak nya oleh orang-orang yang jarang baca kek gw.. hehehe.. keep up the good work!

  2. Ide awal dan diksinya oke. Tapi, konfliknya kurang ‘menggigit’. Terlalu klise sih. Coba kalau saja yang nerima emailnya Galang itu saudaranya, pas ngurus jenazah galang yang barusan kecelakaan lalu lintas. Dan ternyata, di dalam draft email galang ada email serupa yang belum sempat terkirim. *terlalu jauh selusur imajinasinya 😀

Leave a reply to Nona Senja Cancel reply