Benang Kenangan

Benang-benang kenangan, seperti mimpi, berusaha memintal diri menjadi sebuah cerita. Tapi, seperti halnya mimpi, semakin keras ia berpikir dan berusaha mengingatnya, maka untaiannya pun terjurai, seperti sarang laba-laba. Meregang, putus, lalu lenyap.

Hadiah Paling ‘Romantis’

Serangkaian bunga mawar putih yang berpilin cantik dengan lily. Ditambah dengan sekotak coklat aneka bentuk dan rasa lengkap dengan kartu ucapan berwarna jingga-yang terukir indah dengan rangkaian kata-kata manis yang berderet meluluhkan hati.

Oh well, itu hadiah ulang tahun romantis yang pernah saya dapat.

Tapi tunggu! Itu semua hanya dalam angan-angan saya belaka!

Nyatanya, saya tidak pernah mendapatkan itu. Panglima tidak datang dengan bunga ataupun sekotak cokelat. Di hari ulang tahun saya ia justru sedang sibuk dengan nara sumbernya.

Sedih? Nggak juga.

Tapi yang bikin saya sedih justru di hari ulang tahun saya, saya dikasih nikmat Tuhan berupa sakit kepala luar biasa hebatnya.

Wew..

Panglima datang sudah malam. Jangan bayangkan ia datang dengan sebuah pelukan dan kecupan di pipi kanan dan kiri saya. Ia justru datang langsung menodong saya dengan menempelkan telapak tangan di jidat. Tak ketinggalan sederet pertanyaan menyoal kondisi kesehatan saya yang sedang dropdropnya. Saya nyengir.

Setelah saya yakinkan ia bahwa saya baik-baik saja, baru ia bisa sedikit tenang. Setelah meneguk secangkir kopi hitam nasgitel racikan saya, ia mencoba mengeluarkan sesuatu dari ransel kanvas, karibnya bertugas. Hmm..deg-degan? Pastinya! Membayangkan kejutan apa yang ia tengah siapkan.

Tiba-tiba…

Ia menyorongkan sebuah bungkusan plastik berwarna hitam. Isinya….  setumpuk film kartun!

Haha, ulang tahun saya dihabiskan dengan menonton film kartun! Panglima benar-benar bukan pria romantis. Tapi ia tahu apa yang saya butuhkan. Saya butuh tertawa lepas. Dan ia juga tahu kalau saya tak pernah bosan menonton film kartun.

Hmm, setidaknya ini jadi sedikit obat untuk saya yang masih merasakan sakit kepala hebat hingga siang ini. Meskipun bukan pria romantis, Panglima cukup paham apa yang saya butuhkan. Yaa walaupun setiap kali ditanya alasannya kenapa harus film kartun, pasti ia langsung jawab “Kita ‘kan anti mainstream”. Hah! Rasa-rasanya saya ingin menoyor kepalanya. Toyor mesra tentu saja, hihi.

Enjoy my lovely maturity age with tons of smile and please go away headache, just allow me to laugh out loud without any pain after all… and…thank you Panglima, lot of kisses for you!

Panggil Ia Nona Wisya

Namanya Tya. Aristya Wisya.

Seorang perempuan penggila senja yang benci asap rokok. Ia bekerja sebagai seorang pengajar di salah satu sekolah internasional di bilangan Jakarta Barat. Sekolah kapitalis. Pengeruk harta orang tua murid tapi lupa membekali dengan etika. Selalu itu yang diungkapkannya ketika orang  bertanya.

Hampir setahun Tya bergabung di sekolah ini. Bukan suatu kebetulan sampai akhirnya ia menceburkan diri di dunia pendidikan. Semua ini memang sudah jadi rencana Tuhan yang ia jalani senang hati.

Dulu, Tya seorang kuli tinta. Kuli tinta di sebuah media cetak ternama di ibukota. Dunia kriminal sangat akrab dengannya. Kejahatan, pembunuhan sudah jadi makanan sehari-hari. Menyoal politik dan HAM biasa digasaknya tak kenal kompromi.

Usianya 27 kala itu. Matang secara pemikiran dan finansial. Tapi kemapanan yang dia dapati tak dibarengi dengan ketenangan hati yang sampai kini masih dicari.

Tujuh tahun sudah ia berkecimpung di dunia jurnalistik. Berawal dari seorang anak magang yang hanya ditugasi menjadi admin sebuah forum, hingga akhirnya menjadi wartawan sungguhan. Memegang kamera dan punya tanda pengenal.

Hingga suatu hari, ia harus menghadapi sebuah kenyataan pelik. Di mana harga diri hanya sebatas amplop tebal yang diselipkan seseorang lewat meja redakturnya. Dan kebenaran hanya berlalu bagai angin lalu.

“Ini surat pengunduran diri saya, Pak,” selembar amplop tipis dirongkannya kepada Pak Ed, pimpinan redaktur tempat Tya bekerja.

Tak ada jawaban. Pria bertubuh kecil pemilik suara bariton itu hanya menurunkan kaca matanya hingga di ujung hidung dan melihat Tya sekilas.

“Yakin, kamu?”

Hening. Anggukan mantap menjawab pertanyaan Pak Ed.

“Karirmu bisa melesat jauh di sini. Sayang kalau mundur sekarang,” lanjutnya sambil memain-mainkan surat pengunduran diri itu.

Ada sebersit keinginan menyanggupi untuk tinggal lebih lama. Tapi ternyata niat hati sudah bulat. Ia harus bergegas pergi sebelum zona nyaman ini membunuhnya pelan-pelan dalam bentuk kemewahan.

***

Pertengahan 2011 menjadi titik awal Tya menjalani hidup sebagai seorang pengangguran. Ia merasa bebas tanpa beban.

Tapi bukan berarti ia terbebas dari hantu perasaan. Ia tetap mencari apa yang hatinya butuhkan. Hingga akhirnnya ia memutuskan untuk mengasingkan diri, jauh dari keramaian. Soso, sebuah desa kecil di Blitar, menjadi tujuannya.

Di sana Tya tinggal dengan penduduk setempat. Sehari-hari ia mengabdikan dirinya menjadi tenaga sukarela di salah satu sekolah dasar di kaki gunung. Sulit sekali awalnya. Tapi akhirnya ia mulai terbiasa.

Tiap pagi ia berangkat ke sekolah yang jaraknya hampir 3 km tanpa kendaraan. Bersama dengan anak-anak desa tetangga, ia berjalan sambil mendengar celoteh renyah mereka. Celotehan riang yang hanya menyoal pekerjaan rumah dan tingkah adik mereka hari sebelumnya. Sederhana saja.

Siang hari ia memilih menghabiskan waktu di pematang sawah sambil menjaga sawah milik induk semangnya yang akan panen segera. Membiarkan pipi pualamnya tersapu angin siang dengan ditemani kicau burung yang bersautan di atas sana.

Sebulan, waktu yang ia niatkan di awal. Tapi menjadi delapan bulan ia mengabdikan diri. Hingga suatu hari, Mak Tuo, memberikan kabar bahwa ia sedang sakit dan ingin dijenguk segera. Dengan berat hati Tya meninggalkan desa, kembali ke ibu kota.

Tya menggeret koper tua dengan diantar isak tangis warga yang sudah mencintai dirinya sejak kali pertama.

“Mba Tya bakalan balik ke sini, kan?” tanya Yu Jum, si induk semang dengan derai air mata yang sepertinya enggan berhenti.

“Doakan saja, Yu. Nanti saya kabari,” jawabnya terbata. Menahan desakan air mata yang sudah menggantung di pelupuk mata.

Tya kembali ke Jakarta. Berbekal kenangan yang ia rangkai perlahan sejak delapan bulan silam.

“Bekal cukup untuk persediaan bahagia di ibu kota,” gumamnya lirih.

***

Di Jakarta. Ia senang berkumpul kembali dengan Mak Tuo. Wanita paruh baya yang sudah dianggapnya seperti orang tua sendiri. Kalau bukan karena permintaannya, mungkin Tya enggan menginjakkan kaki di Jakarta kembali.

Tiga hari kepulangan Tya, kondisi kesehatan Mak Tuo berangsur pulih. Ah, rindu rupanya alasan Mak Tuo meminta Tya untuk kembali. Bukan sakit tua seperti dugaan dokter padanya.

“Kamu nak punya tujuan apa, Tya?” tanya Mak Tuo di suatu sore.

Alih-alih  menjawab pertanyaan segera, Tya justru melemparkan pandangan ke luar jendela.

“Menganggur di rumah indak enak. Coba kau tanya kawan-kawan kau, siapa tahu mereka ado kerja untuk kau,” imbuhnya dengan nada khawatir.

Tya menghela nafas. Kata-kata ini sudah pernah dipikirkannya dulu sekali. Sebelum akhirnya ia memutuskan untuk berhenti jadi awak media.

“Saya akan bekerja. Tapi ndak akan di bidang yang sama. Mak Tuo sabar ya,” hanya itu yang dikatakannya. Senyum dilemparkannya berharap sedikit menenangkan Mak Tuo yang gusar beberapa hari belakangan.

Semesta seperti mendengar ucapan Tya.

Seorang teman memintanya mengajar di salah satu sekolah elit di Jakarta. Tanpa ragu, Tya menyanggupinya.

“Harusnya ini bukan jadi hal yang sulit. Toh aku pernah mengajar di Soso,” ucapnya dalam hati.

Tya tak pernah tahu apa yang sedang menantinya. Siapa yang akan dihadapinya. Bukan hanya murid-murid seperti di desa kecil bernama Soso. Tapi murid-murid yang akan mengubah cerita hidupnya.

Seratus delapan puluh derajat, mulai besok.

bersambung…

Penghabisan

“Bangsat!”

“Ya elo itu bangsat!”

“Eh , gue nggak kayak elo, Njing!”

Keduanya kemudian tertawa. Percakapan yang aneh buat telingaku. Mereka saling mengumpat di setiap perbincangan. Tidak sekalipun kata-kata itu absen dari mulut mereka yang mengepulkan asap putih pekat dengan aroma yang tajam dari Malboro merah miliknya.

Aku hanya menggeleng melihat kelakuan dua sahabat itu.

Dua laki-laki. Mereka tak bisa dibilang jelek pun tak bisa diakui terlalu tampan. Tapi mereka cukup layak dikategorikan lulus dibawa kondangan. Si putih berbadan tegap dengan rambut kekinian, potongan cepak di kiri dan kanan, belahan rambut ke samping dengan poni yang sedikit panjang. Jambang tertata rapi menghiasi wajah ovalnya dengan kumis tipis yang membuatnya semakin gagah dengan kemeja slim fit yang selalu digulung lengannya.

Sedangkan sahabatnya, berbadan lebih kecil tapi sangat proporsional. Cenderung lebih santai dengan penampilannya yang tak pernah lepas dari kaos Coconut Island yang digandrunginya dulu. Rambut ikalnya yang terpangkas rapi membuat dirinya tampak semakin manis.

Mereka selalu datang ke café ini. Ya, aku memang sering melihat mereka singgah di café ini. Tidak sekali-dua kali saja, tapi puluhan kali. Dalam satu minggu mereka bisa datang berkali-kali. Tidak hanya mereka berdua saja, kadang mereka datang dengan rekan bisnisnya atau mungkin wanita incarannya.

Oh, maaf sebelumnya. Aku bukan penguping setiap cerita mereka. Tapi obrolan mereka yang selalu mencolok membuat telingaku terpasang dengan sadarnya tanpa perlu aku sengaja. Apalagi kalau obrolan mereka tentang wanita.

Suatu hari, mereka duduk agak berbeda dari tempat biasanya. Kali ini, mereka duduk dekat dengan jendela. Sesekali mereka melongokkan kepala ke arah luar, kemudian berbicara setengah berbisik, kemudian tertawa, lalu mengamati ke luar lagi.

Ah, sudah kuduga. Ada sosok perempuan cantik tengah menikmati secangkir latte sambil memainkan gadget di tangannya. Tampaknya ia tak tahu kalau sedang diperhatikan oleh dua pemuda dari dalam.

Mila.

Perempuan yang sering kulihat di akhir pekan. Pengunjung setia café ini sejak beberapa minggu terakhir. Selalu memesan latte dan duduk di teras depan café setiap pukul 4 sore. Dia tidak cantik, tapi enak dipandang. Senyumnya manis dan tertawanya renyah. Ia ramah dan mudah melebur dengan orang yang baru dikenalnya.

“Gue apa elo yang maju duluan?”

“Gue lah. Elo belakangan. Yang  lihat pertama dia yang maju. Deal?”

“Ah brengsek! Okelah, jatah gue besok. Tapi lo nggak akan menang dari gue”

“Anjing! Pede bener lo! Tapi gue nggak akan nyerah. Lihat aja nanti”

Dua pemuda yang sama bersulang dengan cangkir kopi yang sudah habis setengahnya. Aku geleng kepala melihat kelakuan mereka.

Dua bulan kemudian…

“See…! Gue menang dari lo. Mila lebih memilih gue ketimbang elo, Nyet!”

Suara pria tampan berkulit bersih terdengar jumawa. Si pria manis berkulit sawo matang hanya manyun merutuki nasibnya yang kalah dari karibnya. Ia sadar betul kalau taruhannya kali ini adalah sebulan gaji yang harus ia bayarkan demi mendapatkan gadis manis bernama Mila.

“Iya.. iya.. puas lo? Bangkek! Tapi gue nyicil yak, gila sebulan ke depan mau makan apa gue?!”

“Eits, itu resiko Bung! Taruhan tetap taruhan. Like it or not, you must obey!”

Si pria manis makin menekuk mukanya berlipat-lipat. Aku geli melihat wajahnya yang lebih mirip dakocan kalah perang ketimbang pria manis yang pernah kulihat wajahnya beberapa bulan lalu.

“Pssttt.. Malam ini gue kencan sama Mila. Ini saatnya gue bener-bener dapetin dia!”

Si pemenang taruhan setengah berbisik pada temannya sambil menyorongkan sebotol kecil berisi cairan entah apa namanya.

“Gilak, Lo! Lo mau ngerjain dia?”

“Hahaha.. ayolaaahhh.. Gue bukan orang yang suka dengan commitment. Perempuan lugu itu cuman selingan malam gue. Ya mirip-mirip sama Sally, Dita, ataupun Jean. Kenapa lo jadi kaget sih?”

Si pria hitam hanya geleng-geleng kepala.

“Nanti gue bagi dia buat lo. Tenang aja, gue inget temen kok!”

Kata-kata si pria putih membuat senyum pria hitam terkembang sempurna. Aku yang mendengar ceritanya terasa panas. Dasar lelaki!

Mila datang dengan dress kembang-kembang merah muda. Ia tampak segar dengan pulasan warna mata senada. Ia mengecup pipi si pria putih dan menyalami si pria hitam. Si pria putih dengan senyum sumringah memesan latte favorit Mila, dan membisikkan sesuatu kepada barista café.

Aku tak tahan lagi mendengar bualannya. Kupingku rasanya panas, hatiku turut terbakar olehnya. Geram melihat kelakuan bejat dirinya.

Melihat si pelayan menyuguhkan latte, aku bergegas menuju meja Mila dan pria-pria brengsek itu. Semenit sebelum Mila meneguk latte hangat pesanannya, kukerahkan seluruh energi yang kupunya untuk mencegahnya.

Aku sudah tahu target yang hendak kutuju. Lengan si pria putih kusengat sekuat tenaga hingga akhirnya ia menumpahkan cangkir latte milik Mila. Aku kehilangan sungutku. Habis sudah hidup milikku, tapi setidaknya bukan hidup Mila. Perempuan pencinta latte yang kusuka.

 

*Tulisan ini dibuat tanggal 3 Juli 2013 saat melihat seekor kumbang kecil mati saat menikmati makan siang. Dan mungkin kategorinya flash fiction, hehehe…

Catatan (Chef) Nona

Libur lebaran kemarin saya didaulat Ibu untuk menyiapkan semua kue kering untuk jamuan. Malas awalnya, karena toh saya pikir tak akan ada banyak tamu yang datang. Sempat kepikiran untuk beli saja di toko kue langganan atau pesan dari teman. Tapi melihat harga kue kering yang melangit bikin saya berpikir dua kali untuk membelinya.

Akhirnya, dengan tekad sebulat baja sekokoh batu karang #tsaah saya mulai berbelanja kebutuhan membuat kue. Untung saja kantor saya libur agak lama menjelang lebaran (tapi sayangnya tidak ada libur setelahnya, hiks).

Berbekal memori tentang bahan baku seingatnya dan badan yang lumayan lemas karena harus blusukan di dalam pasar, terkumpulah semua bahan yang dibutuhkan.

Tidak banyak yang saya buat. Niat awal ada sekitar lima jenis; nastar, kue sagu, kue kacang, pastel kering, dan corn flakes cookies. Tapi apa daya, kondisi mengatakan sebaliknya. Dari lima yang direncanakan, hanya tiga yang berhasil nangkring cantik di stoples rumah. Hihihi…

Ini dia kue kering hasil bikinan sendiri. Masih jauh dari sempurna, tapi soal rasa nggak kalah sama kue kering yang ada di bakery-bakery ternama. Hahaha… (kalau bukan diri sendiri yang muji siapa lagi, haha)

Sagu Choco Cheese

Sagu Choco Cheese

Open Nastar :)

Open Nastar 🙂

Peanut Cookies

Peanut Cookies

Mencari Damai Merindukan Bahagia

Kata orang, damai itu indah. Damai itu senang. Dan damai itu menyegarkan.

Masih dengan kata orang, bahagia itu sederhana. Bahagia itu ada di mana-mana. Dan bahagia itu beragam bentuknya.

Lantas, apakah saya sudah menemukan damai dan mendekap bahagia?

Entahlah. Pun hingga sekarang saya masih tetap saja mencari mereka berdua. Meski saya hapal betul mereka tak akan pernah kemana-mana. Mereka masih di tempat yang sama. Hanya saja kadang bentuknya sudah berbeda. Berubah sesuai dengan apa yang menjadikan saya dewasa.

Berganti penampilan sesuai dengan lingkungan yang membentuk pola pikir saya tentang arti damai dan makna bahagia.

Tapi ada satu hal yang masih saya yakini hingga saat ini. Bahagia itu sudah ada di dalam hati saya sejak dulu. Tinggal menunggu waktu dan kesediaan hati saya untuk sedikit merunduk dan menengok ke dalamnya, apakah bahagia masih duduk manis di tempatnya.

Damai pun sama. Tak perlu mencarinya ke ujung dunia. Cukup meluangkan waktu dan peparu agar membebaskan hati. Saya tahu betul, damai membutuhkan cerahnya mentari, harumnya aroma hujan yang mencumbu bumi, derasnya aliran air yang tertangkap telinga. Dan harumnya rumput yang digauli embun dini hari tadi.

Ya.. sesederhana itu. Damai dan Bahagia yang tak pernah pergi kemana-mana, tapi menunggu hati saya menjemput mereka. Untuk bermain dan menghabiskan waktu bersama sambil mengisi pundi-pundi udara yang pernah terenggut paksa oleh IbuKota yang jumawa.

 

Damai pasti Bahagia, meski Bahagia tidak selalu beriringan dengan Damai.

Pindah ke Surabaya

“Bulan depan kita pindah ke Surabaya ya, Non.”

Saya yang sedang asyik menikmati keripik tempe dan setumpuk film, kontan saja langsung kaget dengan keputusannya. Wajah saya seolah mengatakan, “Serius?”. Dia hanya tersenyum sambil mengecup pipi kanan saya.

Well, ada sebuah project yang akan ia kerjakan. Mengapa harus pindah? Pasalnya ini project panjang yang memakan waktu bukan hitungan bulan, tapi tahun.

Saat itu juga langsung terbayang, saya dengan kegiatan sehari-hari saya. Betapa bahagianya saya akan segera bertemu dengan kawan kriwil; bisa berkumpul, berbincang, berdiskusi di c2o, main-main di Kenjeran, lihat-lihat vihara yang selama ini saya selalu merengek untuk di ajak kesana.

Berkumpul di salah satu taman kota untuk menikmati festival purnama bersama kawankawan pencinta purnama. O ya, saya bisa makan bebek goreng sepuasnya kapan saja dan dimana saja. Tak terkecuali bebek goreng yang lokasinya harus nyeberang jembatan Suramadu itu.

Dan yang paling saya nantikan adalah saya bisa dengan mudah menjadi kutu loncat. Ha? Maksudnya? Iya, kutu loncat, yang bisa dengan mudahnya loncat ke Bali kapanpun saya butuh karena jarak Surabaya-Bali sudah sangat dekat. Macam selemparan kolor saja. Haha…

Saya bisa bolak-balik ke Malang menemui keluarga saya. Main ke kebun apel sesuka hati. Datang secepat kilat ketika tante saya mengabarkan kalau pohon durian kami berbuah dengan lebatnya. Atau pohon salak dan strawberry yang siap panen. Dan tentunya bisa main-main ke daerah-daerah lain yang dulu hanya angan, yang dulu harus dipersiapkan jauh-jauh hari agar terlaksana meskipun kadang batal juga.

Ya, sebahagia itu saya.

Ketika banyak orang justru mengernyitkan dahi dan bertanya, “Kenapa harus Surabaya?” saya justru sebaliknya. Ya, meski saya tak pungkiri kalau Surabaya pernah membuat saya mimisan saat kali pertama menginjakkan kaki di kawasan Sidoarjo. Tapi, toh Surabaya tetap bikin saya rindu.

Ditengah lamunan saya yang bikin senyam senyum sendiri, tiba-tiba saja…

“Non, kamu kenapa senyam senyum gitu?”

Dia mengagetkan saya dengan suksesnya. Bikin lamunan saya hilang seketika, dan dengan bodohnya saya bertanya…

“Kita jadi pindah ke Surabaya, kan?”

Dia tidak memberikan jawaban. Dia hanya tertawa melihat kelakuan saya. Menurutnya saya seperti anak kecil yang haus akan liburan panjang. Saya diam. Tertunduk lesu karena ternyata apa yang saya bayangkan memang hanya sebatas bayangan saja. Kami tidak akan pernah hijrah ke Surabaya. Hiks..

 

 

 

“Kita memang nggak akan pindah ke Surabaya. Tapi… akhir tahun kita akan ‘main’ ke Wamena”

 

 

Aaaaakkk!

Jangan Tanam Terlalu Lama

Rasa takut adalah belukar yang siap membelit siapa saja yang membiarkan dirinya dicekam perasaan itu

Semalam saya gelisah. Tidak bisa tidur hingga pukul 2 dini hari. Lama sekali saya tidak pernah seperti ini. Ada banyak hal yang mampir dan iseng main-main di kepala saya. Berdialog dengan si kecil di kepala dan akhirnya memenuhi memori otak saya yang terbatas jumlahnya.

Ia memberikan banyak kekhawatiran dan rasa takut di kepala saya. Pada akhirnya membuat saya gelisah. Apakah ini ada kaitannya dengan informasi terbaru yang saya ketahui?

Ah, sial! Kenapa saya harus tahu kebenaran lebih dulu? Ada ketakutan yang-sialnya- memang mengahantui saya.

Tak ingin merasa gelisah dan takut sendiri, saya layangkan beberapa pesan singkat kepada dua orang sahabat saya. Saya tidak mengharapkan sebuah jawaban dari mereka. Saya tahu ini bukan jam wajar untuk berkirim pesan. Tapi setidaknya saya sedikit lega saat menuliskan pesan itu, yang entah kapan akan dibaca.

Bip bip

Sebuah pesan masuk. Pesan saya terjawab segera. Ah, senang betul saya membaca pesannya. Untung saja ia belum pergi jauh ke alam mimpi, kalau tidak tentu sangat susah untuknya dibangunkan.

Tapi saya rasa dia tengah kesambet. Jawaban yang tertulis sangatlah bijak, bukan karakternya sekali! Dia selalu saja meledek saya jarang berbalut kebijaksanaan meski saya tahu ada makna dibalik gurauannya.

Kekhawatiran memang wajar, tapi jangan dibuat berlebihan. Itu katanya. Hidup manusia berputar dan ketakutan jangan pernah bertahan lama di dalam kepala. Karena ia akan hidup dan nyata selama kita pikirkan.

“Macam kamu yang nggak pernah takut pulang malam, baik dari orang jahat ataupun hantu. Karena takutmu itu nggak pernah hinggap lama di kepala. Lantas kenapa ketakutan yang lain tidak dibuat sama dengan takutmu yang satu itu?” itu ujarnya pada saya.

Shit!

Dia benar! Saya tak pernah takut pulang malam, naik angkot kemana saja, orang jahat, jalan sendirian, hantu atau apapun. Karena saya tidak pernah menanamkan rasa takut itu di kepala lama-lama. Sebentar saja, lalu semuanya baik-baik saja.

Ya.. semuanya akan baik-baik saja. All is well!

 

*tulisan ini sudah ada di kotak draft sejak 22 Mei 2013 lalu, tapi tidak pernah sempat dipublish di sini*

Namaku Hujan

hujan

Perkenalkan, namaku Hujan. Di kemarau aku dirindukan. Di berbagai daerah aku dinantikan. Namun tidak di Jakarta. Saat kumenari, umpatan kudapatkan, makian dan hinaan dilontarkan, hanya karena lalu lintas yang lumpuh total. Lantas aku harus bagaimana? Kepada siapa lagi aku menuju ketika harap tak jua tersampaikan…

*otak saya kembali random saat terguyur hujan pagi tadi. foto pinjam di sini